Secara literal, ‘aqidah berasal dari kata ‘aqada yang bermakna al-habl, al-bai’, dan al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian).[1]
Menurut istilah, kata I’tiqad (keyakinan) bermakna, tashdiiq al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an al-daliil (pembenaran pasti yang sesuai dengan kenyataan dan ditunjang dengan bukti).[2]
Kata al-‘aqiidah, al-‘ilm, al-yaqiin, dan al-iiman bermakna sama. Menurut bahasa, al-yaqiin bermakna al-‘ilmu.[3] Menurut istilah, yaqiin memiliki arti, “menyakini sesuatu dengan keyakinan bahwa sesuatu yang diyakininya itu tidak mungkin berbeda dengan keyakinannya. Sebab, keyakinannya sesuai dengan kenyataan yang tidak mungkin berubah.”[4]
Imam Ibnu Mandzur menyatakan, "Tokoh ahli bahasa Azujaj, mendefinisikan iman dengan, “Sikap ketundukan, kepatuhan, dan kesediaan untuk menerima syari'at Islâm.” Sikap ini harus terefleksi pula dalam menerima apa-apa yang disampaikan Rasulullah saw (sunnah). Sunnah harus diyakini dan dibenarkan di dalam hati. Siapa saja yang bersikap seperti itu, dan menyakini bahwa melaksanakan suatu kewajiban itu merupakan keharusan tanpa ragu-ragu lagi, maka hakekatnya ia adalah seorang mukmin dan muslim yang keimanannya tidak ragu-ragu lagi. Allah swt berfirman, "....dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami..."[5]
Makna iman adalah tashdiq (pembenaran). Dalam kitab al-Tahdzib, disebutkan bahwa iman berasal dari kata amana - yu'minu- îmânan, yang artinya membenarkan. Ahli bahasa sepakat bahwa iman berarti tashdiq (pembenaran).
Lawan dari yaqin, ‘ilmu, dan iiman adalah dzan.[6] Menurut bahasa, dzan bermakna tahammuh (prasangka/dugaan).[7]
Imam Zamakhsyariy berkata, “bi’r dzannuun: la yutsaaq bi maa’iha.[Sumur yang meragukan adalah sumur yang airnya tidak bisa dipercaya]; rajul dzannuun: la yutsaaq bi khabarihi [laki-laki yang meragukan adalah laki-laki yang beritanya tidak bisa dipercaya].”[8]
Iman Dalam Tinjauan Istilah
Imam al-Nasafiy, berpendapat, "Îman adalah pembenaran hati sampai pada tingkat kepastian dan ketundukan."[9]
Imam Ibnu Katsir menjelaskan,"Îman yang telah ditentukan oleh syara' dan diserukan kepada kaum muslimîn adalah berupa i’tiqâd (keyakinan), ucapan, dan perbuatan. Inilah pendapat sebagian besar Imam-imam madzhab. Bahkan, Imam Syafi'iy, Ahmad bin Hanbal,dan Abu Ubaidah menyatakan, pengertian ini sudah menjadi suatu ijma'. (kesepakatan)".[10]
Imam Nawawi, menyatakan, "Ahli Sunnah dari kalangan ahli hadits, para fuqaha, dan ahli kalam, telah sepakat bahwa seseorang dikategorikan muslim apabila orang tersebut tergolong sebagai ahli kiblat (melakukan sholat). Ia tidak kekal di dalam neraka. Ini tidak akan didapati kecuali setelah orang itu mengimani dienul Islâm di dalamnya hatinya, secara pasti tanpa keraguan sedikitpun, dan ia mengucapkan dua kalimat syahadat."[11]
Imam al-Ghazali, menyatakan,"Îman adalah pembenaran pasti yang tidak ada keraguan maupun perasaan bersalah yang dirasakan oleh pemeluknya."[12]
Prof. Mahmud Syaltut, dalam Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, berkata, “ Iman adalah al-I’tiqaad al-jaazim al-muthaabiq li al-waaqi’ ‘an daliil.” (keyakinan pasti yang berkesesuaian dengan fakta dan didasarkan pada bukti (dalil).”[13]
Keimanan harus ditetapkan dengan dalil yang bersifat qath’iy (pasti) baik tsubut (sumber) maupun dilalahnya (penunjukkannya). Sebab, keimanan yang dituntut oleh Syaari’ adalah keimanan yang menyakinkan dan tidak disusupi keraguan.
Prof Mahmud Syalthut berpendapat, “Adalah sesuatu yang sudah sangat jelas, bahwa keyakinan semacam ini (keimanan yang pasti) tidak bisa dihasilkan oleh semua hal yang disebut sebagai dalil. Keimanan semacam ini (keimanan yang pasti) hanya akan dihasilkan oleh dalil qath’iy yang tidak disusupi oleh kesamaran.”[14]
Jalan Penetapan 'Aqidah
Para ‘ulama telah sepakat, bahwa dalil ‘aqliy yang didasarkan pada penginderaan atau dlaruriy menghasilkan keyakinan, dan absah dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.
Adapun dalil-dalil naqliyyah, sebagian besar ulama berpendapat bahwa ia tidak menghasilkan keyakinan, tidak menghasilkan keimanan yang telah digariskan oleh syariat, dan tidak absah dijadikan hujjah untuk menetapkan ‘aqidah. Mereka menyatakan, “Ini disebabkan karena, dalil-dalil naqliy adalah dalil yang membuka ruang sangat luas bagi kesamaran-kesamaran (kenisbian).’ [15]
Sedangkan ulama-ulama yang berpendapat, bahwa dalil-dalil naqliy bisa digunakan hujjah untuk menetapkan masalah ‘aqidah, mensyaratkan kepastian dalam sumber (wurud) dan penunjukkannya (dilalahnya).
Yang dimaksud qath’iy wurud (pasti sumbernya) adalah kepastian dari sisi sumbernya. Artinya, dalil tersebut benar-benar pasti berasal dari Rasulullah saw tanpa ada kesamaran (syubhat) sedikitpun. Dalil naqliy yang bisa memenuhi persyaratan ini hanyalah dalil-dalil yang diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan dalil-dalil yang diriwayatkan secara ahad tidak bisa memenuhi persyaratan ini.
Yang dimaksud dengan qath’iy dilalah adalah kepastian dari sisi maknanya. Dengan kata lain, makna yang ditunjukkan oleh dalil tersebut pasti, dan tidak membuka ruang adanya penafsiran atau makna ganda. Persyaratan ini hanya bisa dipenuhi oleh dalil-dalil yang tidak membuka ruang adanya penafsiran. Artinya, makna yang ditunjukkan oleh dalil naqliy tersebut benar-benar hanya menunjuk kepada satu makna saja, dan tidak menunjuk kepada dua makna atau lebih. Bila makna yang terkandung dalam sebuah dalil masih membuka ruang adanya penafsiran, atau mengandung dua makna atau lebih, maka dalil-dalil semacam ini tidak bisa digunakan hujjah dalam perkara ‘aqidah. [16]
Jika sebuah dalil memenuhi dua persyaratan di atas, maka ia menghasilkan keyakinan, dan layak dijadikan hujjah dalam perkara ‘aqidah.[17]
Contoh dari dalil-dalil naqliy yang memenuhi dua persyaratan di atas adalah ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang tauhid, risalah, hari akhir, kenabian dan kerasulan Mohammad saw, kitab suci, kafirnya orang yang menyatakan paham trinitas, serta hal-hal yang berhubungan dengan ushul al-diin. Dalil-dalil tersebut, sumber dan maknanya bersifat pasti (qath’iy wurud dan dalalahnya). Sebab, selain ditetapkan melalui riwayat mutawatir, ayat-ayat tersebut hanya menunjukkan satu makna saja, dan tidak membuka ruang bagi penafsiran yang beragam. Nah, dalam perkara-perkara semacam inilah kaum Muslim tidak boleh berbeda pendapat. Perbedaan pendapat dalam masalah-masalah yang telah qath'iy baik tsubut dan dilalahnya akan menjatuhkan seseorang pada kekafiran. Allah swt berfirman, artinya:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
"Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mu'min, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat tinggalmu.”[Muhammad:19]
زَعَمَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنْ لَنْ يُبْعَثُوا قُلْ بَلَى وَرَبِّي لَتُبْعَثُنَّ ثُمَّ لَتُنَبَّؤُنَّ بِمَا عَمِلْتُمْ وَذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ
"Orang-orang yang kafir mengatakan, bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: "Tidak demikian, demi Tuhanku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan". Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah..”[al-Taghabun:7]
قُلْ يُحْيِيهَا الَّذِي أَنْشَأَهَا أَوَّلَ مَرَّةٍ وَهُوَ بِكُلِّ خَلْقٍ عَلِيمٌ
“Katakanlah,”Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Mengetahui tentang segala makhluk.”[Yaasiin:79]
ءَامَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
"Rasul telah beriman kepada Al Qur'an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta`at". (Mereka berdo`a): "Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali". [al-Baqarah:285]
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَءَاتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَءَاتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [al-Baqarah:177]
Dari sini kita bisa menyimpulkan, bahwa perkara-perkara yang sumbernya tidak qath’iy, atau sumbernya qath’iy akan tetapi maknanya (dalalahnya) samar dan masih diperdebatkan oleh para ‘ulama, maka perkara-perkara tersebut tidak termasuk bagian dari perkara ‘aqidah yang membawa implikasi kekufuran atau keimanan. [18] Perkara-perkara semacam ini sangatlah banyak jumlahnya, dan terus diperselisihkan di kalangan ‘ulama. Misalnya, masalah “melihat Allah swt dengan mata”, “Sifat-sifat tambahan yang dilekatkan pada Dzat Allah, pelaku dosa besar, kehadiran Imam Mahdiy, Dajjal, turunnya Nabi Isa as, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain sebagainya.
Imam Mawardi, dalam tafsirnya menyatakan,”Ada dua pendapat tentang surga yang dihuni Adam as. Pertama, ia adalah surga abadi. Kedua, ia merupakan surga yang disediakan Allah swt untuk Adam dan Hawa sebagai tempat ujian, bukan surga abadi sebagai Daar al-Jazaa’ (negeri pembalasan). Pendapat yang terakhir ini terbagi menjadi dua; (1) surga ini terletak di langit. Mereka beralasan, bahwa Allah menurunkan Adam dan Hawa dari surga. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hasan. Imam Bahr berpendapat, bahwa surga ini terletak di bumi. Alasannya, Allah hendak menguji keduanya di bumi dengan cara melarang mereka memakan buah khusus[19].
Imam Ibn al-Khathib, dalam tafsirnya mengatakan, bahwa para ‘ulama berbeda pendapat tentang surga yang dihuni Nabi Adam dan Hawa, apakah terletak di langit ataukah di bumi? Sekiranya di terletak di langit, apakah ia surga abadi yang disediakan sebagai balasan amal? Atau, apakah ia surga yang lain? Abu al-Qasim al-Balkhi dan Abu Muslim al-Ashbahani berkata, “Surga dihuni Adam ini terletak di dunia”. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Pendapat lain menyatakan, bahwa surga yang dihuni Nabi Adam as terletak di langit tujuh. ‘Ulama lain berpendapat, bahwa surga tersebut adalah negeri pembalasan (daar al-jazaa’). Ini merupakan pendapat mayoritas ‘ulama. Pendapat lain menyatakan, bahwa semua pendapat itu sama-sama mungkin, karena dalilnya saling bertentangan dan tidak pasti.
Imam Abu Zaid al-Maliki berkata, bahwa ia bertanya kepada Imam Abu Nafi’, apakah surga itu makhluk? Imam Nafi’ menjawab, “Diam dalam masalah ini lebih baik.” [20]
Para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam hal melihat Allah swt dengan mata (pandangan) di hari kiamat. Sebagian ‘ulama berpendapat bahwa manusia akan melihat Allah swt di hari akhir. Mereka mengajukan dalil-dalil sebagai berikut:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلَا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلَا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
"Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya." [Yunus:26] Menurut sebagian ulama, maksud dari pecahan kata “..dan tambahannya..” adalah kenikmatan melihat Allah swt.
إِنَّ الْأَبْرَارَ لَفِي نَعِيمٍ(22)عَلَى الْأَرَائِكِ يَنْظُرُونَ
“Sesungguhnya, orang yang berbakti itu benar-benar dalam kenikmatan yang besar. Mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang.”[al-Muthaffifiin:22-23]
وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ(22)إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah orang mukmin pada hati itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.”[al-Qiyamah:22-23]
Akan tetapi, sebagian ulama tidak sepakat dengan pendapat ini. Mereka menyatakan, bahwa manusia tidak akan melihat Allah swt . Mereka berargumentasi dengan mengetengahkan firman Allah swt yang menafikan adanya ru’yat al-Allah.
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” [al-An’am:103]
Nash-nash seperti ini tidak absah digunakan dalil untuk membangun perkara-perkara ‘aqidah yang akan berimplikasi kepada kekafiran bila seseorang mengingkari pendapat saudaranya yang lain. Seorang muslim yang berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di hari akhir, tidak boleh menjatuhkan predikat kafir kepada saudaranya yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat di hari akhir. Ini didasarkan pada kenyataan bahwa dalalah (makna) yang ditunjukkan oleh nash-nash tersebut tidak qath’iy (pasti).[21]
Pada dasarnya, masalah-masalah semacam ini muncul tatkala di tengah-tengah kaum muslim bermunculan pemikiran-pemikiran, kelompok-kelompok, dan aliran-aliran ilmu kalam. Akhirnya, perkara-perkara ‘aqidah dijadikan ranah ijtihad yang menyebabkan mereka berselisih dan berbeda pendapat –dalam ranah yang memang masih diperbolehkan berbeda pendapat. Masing-masing kelompok dan aliran mengetengahkan pendapat dan pemikirannya dengan disertai dalil-dalil naqliy yang mendukungnya.
Namun demikian, banyak perkara ‘aqidah yang seluruh kaum muslim bersepakat dan tidak berselisih pendapat di dalamnya. Misalnya, seluruh kaum muslim sepakat bahwa Allah swt suci dari kekurangan, dan disifati dengan seluruh kesempurnaa. Ini adalah keyakinan pasti yang diimani oleh seluruh kaum muslim, dan tidak pernah diperselisihkan oleh para ‘ulama. Perbedaan pendapat terjadi tatkala mereka membahas perkara-perkara yang berhubungan Allah swt. Misalnya, apakah Allah swt wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya? Apakah manusia yang menciptakan sendiri perbuatan-perbuatan ikhtiyariyah? Apakah maksiyat yang dilakukan oleh seorang hamba telah dikehendaki Allah?
Kelompok Mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah wajib berbuat yang terbaik bagi hambaNya, manusia adalah pencipta perbuatannya sendiri, dan Allah tidak menghendaki kemaksiyatan. Kelompok lain berpendapat, bahwa Allah tidak wajib berbuat yang terbaik untuk hambaNya, Allah adalah pencipta perbuatan manusia, dan Allah swt menghendaki kemaksiyatan.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa seluruh kelompok tersebut tidak berbeda pendapat dalam masalah sucinya Allah dari kekurangan (ketidaksempurnaan). Mereka juga sepakat bahwa Allah disifati dengan kesempurnaan. Sebab, keyakinan terhadap kesucian Allah dari sifat lemah dan ketidaksempurnaan, merupakan keyakinan pasti yang tidak membuka ruang bagi adanya perbedaan penafsiran. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal, “Apakah perkara ini dan itu termasuk kekurangan, sehingga Allah tidak mensifati dirinya dengan sifat itu; dan apakah perkara ini dan itu bukan termasuk kekurangan Allah, sehingga Allah mensifati dirinya dengan sifat itu?
Menurut Mahmud Syaltut, di dalam kitab-kitab Tauhid telah dirinci perkara mana yang disepakati oleh para ‘ulama, dan mana yang masih diperselisihkan; serta dalil-dalil naqliy yang dijadikan sandaran argumentasi masing-masing pihak.
Atas dasar itu, jalan untuk menetapkan masalah-masalah ‘aqidah haruslah mudah dan diketahui oleh seluruh manusia, Jalan tersebut tidak boleh hanya diketahui sebagian orang saja. Sebab, ‘aqidah adalah pokok agama (ushul al-diin) yang menjadikan seseorang menyandang predikat muslim atau kafir. Seandainya jalan untuk menetapkan keimanan hanya diketahui oleh sebagian orang saja, niscaya banyak orang yang sulit untuk memperoleh predikat mukmin; sebab, ia tidak mengetahui jalan untuk mendapatkan keimanan. Contohnya adalah ilmu mantiq dan logika yang digunakan oleh ahli filsafat sebagai jalan untuk mendapatkan keimanan. Jalan seperti ini adalah jalan salah yang bertentangan dengan manhaj berfikir yang benar. Sebab, tidak semua orang menguasai ilmu manthiq dan logika. Jika untuk mendapatkan keimanan, seseorang harus menguasai ilmu mantiq terlebih dahulu, tentunya orang yang tidak menguasai ilmu manthiq tidak akan pernah bisa memperoleh keimanan dengan jalan yang benar? Kalaupun ia menyandang gelar mukmin, maka keimanannya pasti didapatkan dari jalan taqlid. Padahal, jalan semacam ini (taqlid dalam masalah ‘aqidah) dilarang oleh syara’.
Agar metode untuk mendapatkan iman tersebut, benar-benar bisa dimengerti oleh seluruh umat manusia, maka perkara-perkara ‘aqidah tersebut tidak boleh diperselisihkan, atau masih menjadi bahan perbincangan di kalangan ‘’ulama, dalam hal penetapan dan penafiannya. Ini didasarkan pada kenyataan, bahwa kebanyakan masyarakat awam tidak mampu menjangkau argumentasi-argumentasi para ‘ulama jika perkara-perkara ‘aqidah tersebut masih dalam perselisihan dan perdebatan. Keadaan ini akan membuka ruang yang sangat lebar bagi adanya taqlid dalam perkara ‘aqidah. Padahal, taqlid dalam perkara ‘aqidah adalah sesuatu yang diharamkan. Sebab, banyak orang awam yang tidak memahami dalil dan argumentasi masing-masing ‘ulama. Lantas, bagaimana ia bisa menyakini perkara-perkara yang dia sendiri tidak mengetahuinya?
Perbedaan Yang Mengharamkan Adanya Takfir dan Tadlliil
Pada dasarnya, perbedaan pendapat yang terjadi di antara kelompok-kelompok Islam dalam masalah ru’yatullah, kehadiran Dajjal, siksa kubur, letak surga yang dihuni Nabi Adam as, dan lain-lain, tak ubahnya dengan perbedaan pendapat di kalangan ahli fiqh dalam masalah-masalah furu’. Sebab, tidak ada satupun nash qath’iy yang bisa dijadikan hujjah untuk masalah-masalah tersebut. Atas dasar itu, perbedaan pendapat dalam masalah-masalah itu masih dalam kategori perbedaan yang diperbolehkan (ikhtilaaf tanawwu’). Sebuah, perbedaan yang mengharamkan seseorang untuk mencap saudaranya telah keluar dari jalan yang lurus (kafir), sesat, fasig, atau telah mengingkari masalah-masalah agama.[22]
Sayangnya, masa fanatisme madzhab telah membawa kaum muslim pada sikap-sikap tercela dan jauh dari tuntunan Islam. Akhirnya, dengan sangat mudah, mereka mencap saudara seimannya dengan cap kafir, fasiq, dan sesat. Padahal, mereka berselisih pada perkara-perkara yang masih mengandung kesamaran. Demikianlah, kemerosotan berfikir kaum muslim telah menjatuhkan mereka pada sikap-sikap tercela dan bodoh. Akibatnya, perpecahan, perselisihan, dan permusuhan di kalangan kaum muslim sendiri tidak bisa dihindari lagi. Semua ini diakibatkan, karena kebodohan dan ketergesa-gesaan mereka dalam bersikap dan berpendapat.
[1] Mohammad Ibnu Abiy Bakar al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, Daar al-Fikr, 1401 H/1971 M, hal.444. Bila dikatakan I’taqada fulaan al-amr (seseorang telah beri’tiqad terhadap suatu perkara), maknanya adalah, shadaqahu, wa ‘aqada ‘alaihi qalbuhu, wa dlamiiruhu, (seseorang itu telah membenarkan perkara tersebut, hatinya telah menyakininya, dan ia telah bersandar kepada perkara tersebut). Lihat al-Mu’jam al-Wasith, jilid I, bab ‘aqada.
[2] Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 22.
[3] Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 743
[4] Al-Jurjaniy, al-Ta’riifaat, hal. 113
[5] Al-Quran, Yusuf:17.
[6] Al-Raghib al-Isfahaaniy, Mufradaat al-Faadz al-Quran, hal.327
[7] Dalam kamus Mukhtaar al-Shihaah, disebutkan, bahwa kata dzan kadang digunakan dengan makna al-‘ilmu (yaqiin) [lihat juga Imam al-Amidiy, al-Ihkaam fi Ushuul al-Ahkaam, hal 218]. Fathi Mohammad Salim menyatakan, bahwa kata dzann adalah keyakinan kuat yang masih mengandung makna yang berlawanan. Al-Raaziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 406. Kata dzan kadang-kadang digunakan dengan makna yaqiin dan syakk (keraguan). [lihat Fathi Salim, al-Istidlaal bi al-Dzan fi al-‘Aqidah, ed. II, Daar al-Bayaariq, 1414 H/199 M , hal. 20].
[8] Asaas al-Balaaghah, hal. 303
[9] Imam al-Nasafiy, Al-'Aqâid al-Nasafiyyah, hal. 27-43
[10] Ibnu Katsîr, Tafsir Ibnu Katsîr, jilid.I, hal. 40
[11] Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, jilid I, hal. 49
[12] Imam Al-Ghazali, Iljâm al-'Awam 'an 'Ilm al-Kalâm, hal. 112
[13] Prof. Mahmud Syalthut, Islam ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.56
[14] Ibid, hal.56
[15] Ibid, hal. 56
[16] Ibid, hal.56-57
[17] Ibid, hal.57
[18] Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal. 58. Beliau menambahkan, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah seperti ini disebutkan di dalam banyak kitab, misalnya Kharidat al-Daradiir, Jauharat karya Imam Laqaniy, dan sebagainya.
[19] Abd al-Qadir Ahmad ‘Atha, al-Thaariq Ila al-Jannah, ed.II, 1987, Daar al-Jiil, Beirut, Libanon
[20] Ibid
[21] Prof Mahmud Syaltut, Islam, ‘Aqidah wa Syari’ah, hal.61
[22] Ibid, hal. 59-60. Prof Mahmud Syaltut menambahkan, bahwa sikap seperti ini telah dipegang oleh ‘ulama-‘ulama tauhid. Lihat, al-Milal wa al-Nihal, karya Ibnu Hazm, al-Qawaa’id al-Kubra, karya ‘Izzi ‘Abd al-Salam, dan kitab-kitab Ushul dan Ilmu Kalam lainnya.
0 komentar:
Posting Komentar
be nice, keep it clean my friend