NU: Perlawanan Terhadap Penjajah.

Al-Khilafah Islamiyah Perkara Mendesak..

Mendudukan Sejarah Kekhilafah`n Islam.

| | 0 komentar | Read More

Mengugat Politik Pendidikan Ala Kapitalisme


Politik adalah pengaturan urusan umat baik dalamnegeri maupun luar negeri. Mengenai  dalam Negeri, aktivitas Poltik yang utamadilakukan secara praktis oleh Negara dengan menerapkan Mabda (Ideologi) yang dianutnya.[1]

Hari ini, terdapat sebuah Ideologi yang eksis,dan menjadi asas bagi pengaturan yang dilakukan oleh banyak Negara di belahan dunia, yakni Ideologi Kapitalisme. Aqidah yang mendasari tegaknya Ideologi tersebut adalah Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dalam Sekularisme, Agama dianggap belenggu yang akan mengerangkeng manusia dalam upayanya mewujudkan kebahagiaan, sehingga tak boleh dijadikan pijakan dalam menjalani kehidupan kecuali hanya terbatas dalam tataran privat.

Adapun Negara, sebagai institusi Politik, menurut Aqidah Sekularisme, idealnya ditegakkan dengan tujuan untuk menjaga dan menjamin rakyat dalam memperoleh jaminan atas berbagai kebebasan yang menjadi haknya. Kebebasan tersebut antara lain: kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan pribadi (bertingkah laku) dan kebebasan kepemilikan.[2]
Namun pada praktiknya, kebebasan yang dijanjikan pada seluruh penghuni Negara mengalami proses penyempitan. Hak mendapatkan kebebasan itu akhirnya justru dimonopoli oleh segelintir orang yang bernama Kapitalis (Pemilik Modal). Dengan kekuatan modalnya, Para Kapitalis dapat menjadikan Negara sebagai pijakan untuk memuluskan apa yang diinginkannya seraya menafikan kebebasan warga lain. 

Negara yang menganut Ideologi Kapitalisme, pada akhirnya memaksa Para Poilitisi yang terlibat aktivitas Politik hanya mewakili kepentingan Para Kapitalis yang hanya segelintir saja. Ini pula yang kemudian menjadi alasan mengapa Ideologi ini tak dinamakan Sekularisme, akan tetapi Kapitalisme.

Pendidikan dalam Kuasa Ideologi Kapitalisme

“Jika anda bertanya apa manfaat Pendidikan, maka jawabannya sederhana: Pendidikan membuat orang menjadi baikdan orang baik tentu berprilaku mulia” (Plato, Filsuf Yunani Kuno)

Rasanya tak ada yang menyangkal pernyataan Plato tersebut, bahwa memang tujuan dari diadakannya aktivitas Pendidikan tak lain untuk mewujudkan manusia yang sebenarnya, yang memiliki kepribadian baik dan mulia. 

Namun sayang, ada satu kelemahan mendasar para Filosof seperti Plato. Yakni seringkali memberikan konsep yang sangat ideal, namun terlalu general. Sehingga memunculkan potensi bias tafsir. Demikian halnya dengan Plato, ia dan apa yang diungkapkannya telah meninggalkan jejak kebingungan ditengah umat manusia yang mencari cari tafsir pasti dari frasa ‘orang baik’ dan ‘berprilaku mulia’. 

Hanya satu hal yang pasti, tafsir tersebut pada akhirnya akan sangat bergantung pada Ideologi yang dijadikan pijakan bagi Negara dalam mengelola Pendidikan bagi manusia yang tinggal dalam naungannya. Manusia-manusia dapat dipaksa untuk menerima konsep orang baik dan berprilaku mulia yang diinginkan Negara tempatnya hidup. Hal ini juga ditegaskan oleh Michael Folcault,yang menyatakan bahwa keberadaan Pendidikan tak bisa dilepaskan dari kepentingan penguasa. Terdapat hubungan antara pendidikan dan kekuasaan.[3]
Kapitalisme, sebagai sebuah Ideologi yang kini menjadi asas bagi aktivitas Politik Negara di Dunia, termasuk Indonesia, tentu punya pola tersendiri dalam memanfaatkan pendidikan sebagai medium untuk memuluskan tujuan Ideologisnya. 

Lantas bagaimana cara Kapitalisme membangun sistemPendidikannya di Indonesia? Apakah Kapitalisme berhasil mengarahkan manusia-manusia Indonesia menjadi orang baik dan berprilaku mulia? Hasil apa saja yang didapatkan oleh Negeri ini karena pilihannya tunduk pada Ideologi Kapitalisme? Adakah Negeri ini mendapatkan kebaikan? Atau sebaliknya?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut, kiranya bisa diklihat dari tiga aktivitas politik besar yang menjadi manifestasi Politik Pendidikan Kapitalisme di Indonesia. diantaranya:

1.    Membangun Pendidikan Sekuler

Sebagaimana sudah diuraikan sebelumnya, Aqidah yang dianut oleh Ideologi Kapitalisme adalah Sekularisme (PemisahanAgama dari kehidupan).  

Meminjam pernyataan Adian Husaini, Sekularisme adalah bentuk lain dari konsep ‘Menuhankan manusia, dan memanusiakan Tuhan’. Manusia sebagai makhluk yang lemah, diposisikan seperti Tuhan yang memiliki hak untuk mengatur urusan kehidupan secara komprehensif. Sebaliknya, Tuhan yang hakikatnya Dzat sempurna, ditiadakan perannya, disingkirkan, seolah lemah dan tak punya daya untuk berkuasa dan mengatur manusia.

Sekularisme mengerdilkan peran Agama hingga ajarannya hanya boleh diamalkan dalam tataran individual belaka; dalam aspek ritual atau keyakinan pribadi saja. Adapun dalam aspek lain, semisal berekonomi, berpolitik, bersosial, maka Agama diharamkan untuk turut campur mengatur urusan manusia.

Pola Pendidikan Sekularisme di Indonesia sendiri nampak dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum) pasal 15. Dimana terdapat dikotomi antara Pendidikan Agama dengan Pendidikan lainnya, yang berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus”[4]
Dalam tataran yang lebih praktis, Sekularisme tercermin dari indikator dan materi yang disiapkan dalam proses pembelajaran Agama yang dibuat Pemerintah, dimana arahnya hanya terbatas agar pelajar memahami agama sebagai simbol dan ritual belaka. Bukan sebagai standar berfikir dan bersikap dalam mengarungi medan kehidupan yang luas. Tak hanya itu, alokasi waktu mata pelajaran Agama-pun sangat sedikit, hanya berkisar dua jam pelajaran per minggu.

Padahal, menurut Taqiyuddin An-Nabhani, Penanaman Ideologi Sekularisme dalam kehidupan, atau menjauhkan manusia dari aturan agama, adalah sebuah wujud penentangan manusia terhadap fitrahnya. Hal demikian akan menjadi sumbu bagi munculnya beragam pertentangan dan perbedaan yang mengacaukan kehidupan manusia. Itu karena hakikatnya manusia tak akan pernah mampu mengatur hidupnya sendiri.[5]
Dalam konteks lain, Ketika Sekularisme menafikan Agama sebagai standar dalam berfikir dan bersikap, maka hakikatnya, Sekularisme sedang mengajarkan kebebasan bagi manusia untuk menentukan standar (maqayis) sendiri, tentang benar-salah, baik-buruk serta terpuji-tercela. Dengan katalain, Sekularisme telah memberikan jalan bagi lahirnya Relativisme. 

Akibatnya, manusia yang dididik dengan Ideologi ini sangat potensial menjadi manusia brutal dan yang sulit diatur. Maka jangan heran bila penggunaan Narkoba, Aborsi, Seks Bebas, Tawuran atau geng motor menjadi potret buram yang dihasilkan oleh manusia yang terdidik dengan Ideologi ini. Media massa, cetak maupun elektronik tak henti memberikan fakta tentang dampak dari hal ini.

Terkait hal tersebut, Alija Izetbegovic, mantanPresiden Bosnia menguatkan tentang bahaya melepaskan Agama dari kehidupan manusia. Menurutnya, Moralitas sebagai sebuah prinsip tak mungkin dapat terwujud kecuali dengan agama. Dengan kata lain, membangun moralitas dalam ruang hidup sekularisme adalah sebuah utopia belaka.[6]
Memang benar, disisi lain, Pendidikan dengan pola sekualrisme telah menghasilkan percepatan munculnya beragam produk IPTEK yang sangat canggih, Namun dunia tak bisa menutup mata, bahwa IPTEK yang digunakan oleh penganut Sekulerisme, lebih banyak menimbulkan mafsadat ketimbang maslahat. Begitu juga kepintaran yang dimiliki sebagian penganutnya, alih alih membawa kebaikan, mereka justru membawa kerusakan.

2.    Menciptakan Liberalisasi Pendidikan

Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 berbunyi,”Setiapwarga Negara berhak mendapat pendidikan”.[7] Tak ada yang keliru dari isi UUD tersebut, namun sayang, UUD 1945 hanyalah sekumpulan konsep yang tak memiliki seperangkat metode yang khas sebagai tuntunan untuk mewujudkannya secara praktis. Akibatnya, ia menjadi konsep bias yang metode pelaksanaannya dapat dipelintir oleh Ideologi tertentu yang menjadi ‘ruh’ Negara. Dan dalam konteks hari ini, Kapitalisme adalah Ideologi yang dimaksud.

Adapun dalam menerapkan Ideologinya, Kapitalisme hanya menjadikan Negara sebagai sarana untuk menjamin terciptanya kebebasan ditengah kehidupan manusia yang tinggal di dalamnya. Satu diantara kebebasan tersebut adalah kebebasan kepemilikan.

Konsep kebebasan kepemilikan, salah satu manifestasinya adalah Liberalisasi, yang terwujud dalam bentuk pelemparan beragam tanggung jawab Negara kepada pasar . Negara melakukan aktivitas Liberalisasi dalam berbagai aspek, termasuk diantaranya Pendidikan. Dalam konteksPendidikan, Negara terus berupaya melepaskan kewajibannya untuk menanggung biaya Pendidikan yang dibutuhkan rakyatnya. 

Maka bila ada yang menafsirkan maksud dari UUD 1945 pasal 31 ayat 1 adalah semua aktivitas Pendidikan setiap rakyat dijamin tanpa perlu membayar biaya sepeser pun, maka tafsirannya keliru besar. Karena jelas, hal tersebut bertolak belakang dengan visi Liberalisasi yang menjadi manifestasi Ideologi Kapitalisme.

Liberalisasi di Negeri ini, tercermin nyata pasca reformasi berlangsung. Pemerintah melakukan proses Desentralisasi atau Otonomi Pendidikan yang membuat tanggung jawabnya dalam mengelola Pendidikan semakin sedikit. Pemerintah malah melepaskan beragam tanggung jawabnya dalam menetapkan berbagai hal yang menyangkut jalannya Pendidikan kepada tiap satuan Pendidikan di masing masing daerah, termasuk dalam mencari dananya sendiri. [8]
Dengan demikian, Pendidikan akhirnya berperan juga sebagai Pasar. Para Kapitalis bermain di Dunia Pendidikan mencari proyek sana sini, melakukan persaingan dalam rangka mengeruk keuntungan dari Liberalisasi yang telah memuluskan simbiosis antara Kapitalis dan Satuan Pendidikan. Ekses paling terasa dari hal ini, Lembaga Pendidikan mematok biaya mahal bagi setiap rakyat yang ingin sekolah. Karena mereka membutuhkan uang rakyat sebagai alat transaksi dengan Para Kapitalis.

Kondisi menjadi sangat pelik, ketika fakta menunjukan, masih banyak rakyat Indonesia yang hidup miskin. Merujuk standar kemiskinan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada 2013 mencapai 97,9 juta jiwa. Atau setara dengan 40 persen penduduk.[9]

Akhirnya banyak diantara Mereka yang miskin urung melanjutkan sekolah, sambil menggerutu “Ternyata Sekolah hanya untuk orang kaya”. Merujuk pada Data BKKBN, Pada Tahun 2009 saja terdapat 13.685.324 anak usia antara 7-15 Tahun yang putus Sekolah[10]. Kondisi tersebut kemudian mengiringi semakin banyaknya jumlah anak jalanan dan gelandangan, serta perbudakan anak, kebodohan, dan banyak lagi.

Untuk menambal dampak Liberalisasi yang buruk tersebut, Pemerintah menunjukan bentuk tanggung jawab lain yang dinamakan Subsidi. Setiap tahun, Pemerintah memberikan subsidi besarannya dialokasikan 20% dari jumlah APBN[11]Jumlah tersebut direcah dalam program Beasiswa, BOS dan Gratis Belajar SembilanTahun, dan yang lainnya.

Namun itu semua tentu kurang dan tak mampu menyentuh semua lapisan rakyat. Subsidi seolah hanya menjadi upaya setengah hati yang mengaburkan fakta Liberalisasi yang dilakukan PemerintahNegeri ini.

3.    Membangun Pendidikan Berbasis Industri

Dalam Negara yang menjadikan Kapitalisme sebagai pijakkannya, adalah hal yang niscaya bila setiap kebijakan senantiasa mengacu kepada kepentingan Para Kapitalis. Dan diantara kebutuhan Para Kapitalis dalam melebarkan kekuatan modalnya, adalah Sumber Daya Manusia.

Dalam konteks tersebut,  Pendidikan, sebagai sarana pembentukan corak SDM, adalah ruang strategis untuk dimanfaatkan keberadaannya. Setidaknya, bila berpijak dari asas manfaat yang menjadi standar berfikir Para Kapitalis, ada dua hal strategis yang bisa dimanfaatkannya dalam Dunia Pendidikan Indonesia. Pertama; Menciptakan SDM dengan kualitas keahlian yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dua: SDM yang siap ‘bekerjasama’ dalam menekan biaya produksi .

Sebagai salah satu wujud praktisnya, akhirnya para Kapitalis mendorong Negara untuk memprioritaskan mendorong perbanyakan jumlah Sekolah Kejuruan. Sekolah  model ini secara khusus dibangun untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh Para Kapitalis atau bahasa halusnya ‘Dunia Kerja’. Lulusan SMK dipuja sebagai penguat iklim investasi yang memajukan ekonomi Negara.

Pada Tahun 2009, Pemerintah melalui mendiknasnya, Bambang Sudibyo pernah menargetkan bahwa padaTahun 2014, rasio antara jumlah SMK dan SMA mesti 2:1. Artinya di tiap daerah,bila terdapat 1 SMA, maka harus terdapat 2 SMK[12]Bila merujuk pada fakta hari ini, kiranya target tersebut berhasil.

Dalam tataran indvidu, sesungguhnya memang tak ada salahnya individu memiliki skill kerja yang mumpuni, demikian juga memiliki kesiapan mendapatkan upah murah. Karena dalam  Islam pun, memiliki keahlian tertentu adalah Fardhu kifayah, bahkan dalam kondisi tertentu dapat berubah menjadi Fardhu ‘ain. Selain itu, Miskin dan Kaya dipandang sama saja, yang membedakan adalah taraf ketakwaan

Namun masalah muncul bila hal tersebut dipandang dalam skala makro. Politik Pendidikan yang memprioritaskan pembangunan Sekolah Kejuruan, tentu pada akhirnya akan membuat SDM Negeri ini mayoritasnya adalah pribadi yang hanya siap jadi pekerja yang mengabdi pada Para Kapitalis. Padahal disisi lain, mekanisme Pasar bebas yang dijalankan oleh Negara Kapitalis meniscayakan proses makan-memakan antar perusahaan yang berujung pada pengurangan jumlah pabrik yang simultan. [13]

Pada akhirnya, jumlah perusahaan milik Para Kapitalis yang semakin sedikit itu tentu membuat lulusan siap kerja yang menggunung tak tertampung. Lantas, bagaimana nasib mereka? Sebagiannya mungkin melanjutkan untuk kuliah, sebagian lagi bekerja lintas keahlian. Dan sambil menjalani kehidupan barunya, sebuah pertanyaan terngiang ngiang dalam kepala mereka, “Lantas apa gunanya keahlian yang aku pelajari selama tiga tahun itu, bila akhirnya aku menjadi seperti hari ini?”

Namun yang lebih banyak lagi, lulusan yang tak tertampung itu menjadi Pengangguran. Kalaupun tak jadi pengangguran, lulusan SMK dapat menyisihkan lulusan SMA, dan melabeli mereka dengan cap pengangguran. Faktanya, jumlah pengangguran memang tinggi. Menurut Muhaimin Iskandar, PadaTahun 2012 saja, terdapat sekitar 7 juta pengangguran di Indonesia[14].Pengangguran ini tentu potensial untuk beranak-pinak melahirkan beragam masalah lainnya. Seperti pencurian, perampokan dan tindak kriminalitas lainnya.

Ikhtisar

Demikianlah Ideologi Kapitalisme dengan visi Politiknya telah terbukti gagal dalam menyuguhkan harmonisasi dalam dunia Pendidikan. Kapitalisme gagal membentuk rakyatnya menjadi manusia paripurna yang pantas untuk dikatakan baik dan berpilaku mulia. Sebaliknya Kapitalisme justru menghasilkan pribadi pribadi brutal yang kering akan nuansa spiritual, moral, apalagi sosial.

Tak hanya itu, untuk mendapatkan kualitas Pendidikan dengan kualitas yang buruk tersebut, Rakyat masih dipaksa membayar dengan biaya yang mahal dan sulit dijangkau. Ditambah lagi, biaya yang mahal tersebut tak memberikan kepastian yang cerah bagi masa depan mereka yang membayarnya. Baik masa depannya di Dunia, maupun di Akhirat.

Nyata sudah, Politik Pendidikan ala Kapitalisme benar benar telah nyata menjadi api yang mungepulkan asap masalah dan membuat  sesak dada khalayak. Potret tersebut semestinya sudah cukup menjadi salah satu  alasan kuat bagi penduduk Negeri ini untuk bergerak bersama penduduk di belahan Dunia, membawa satu visi; Menumbangkan Ideologi Kapitalisme, serta mewujudkan Perubahan besar Dunia menuju Khilafah. Wallohualam.[Farhan A.Muttaqi]** 

[1] An,Nabhani, Taqiyuddin.(2006). Konsepsi Politik HizbutTahrir (ter. Mafahim Siyasiyah). Jakarta: HTI Press. Hal: 7
[2] An-Nabhani, Taqiyuddin. (2001) Peraturan Hidup dalamIslam (terj. Nizhamul Islam), Jakarta: HTI Press. Hal: 50
[3] Yamin, Moh. (2009). Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Jogjakarta: Arruz Media. Hal: 53
[5] An-Nabhani, Taqiyuddin. (2001). Peraturan Hidup dalam Islam (Terj. Nizhamul Islam), Jakarta: HTI Press. Hal: 69
[6] Izetbegovic, Alija. (1992). Membangun Jalan Tengah(Ter.Islam Between East and West)). Bandung: Mizan. Hal.153
[7] Yamin, Moh. (2009). Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Jogjakarta: Arruz Media. Hal: 122
[8] Ibid. 124
[11] Ibid.123
[13] Triono, Dwi Condro, 2012, Ekonomi Islam Mazhab Hamfara.  Yogyakarta: Irtikaz.Hal:196

| | 0 komentar | Read More

Hakikat Negara Khilafah

by Detik Islam

• Khilafah Nabhaniyah?
Jika dikatakan bahwa bentuk khilafah yang dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir, menurut saya, sebenarnya pernyataan itu sangat berbau ashabiyah. Sebab, ijtihad versi siapa pun, tetap dinilai sebagai ijtihad islami, selama berdasarkan dalil-dalil syar’i. Oleh karena itu, siapapun, baik individu atau kelompok, sah-sah saja melakukan ijtihad serupa (tentang struktur pemerintahan khilafah), asalkan berdasarkan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, jika ada orang yang menyatakan bahwa bentuk negara khilafah yang akan dipaparkan di sini adalah khilafah versi Hizbut Tahrir (Khilafah Nabhaniyah), bukan Khilafah Nubuwwah, adalah pernyataan yang menikam. Bukan Hizbut Tahrir yang ditikam, tetapi pemikiran Islam (Islamic Thought) itulah yang ditikam. Na’udzubillah.
Perjuangan penegakan kembali khilafah Islam, telah dimulai sejak hampir seabad yang lalu. Sejak tahun pertama negara khilafah Usmaniyah diruntuhkan oleh agen Yahudi, Musthafa Kamal Pasha Attaturk, maka para ulama pun bereaksi dengan menggelar berbagai konferensi atau muktamar untuk mengembalikan institusi politik Islam itu. Tercatat Syaikh Haji Rasul (ayah dari ulama besar Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrullah) adalah tokoh yang turut menghadiri muktamar tersebut, untuk mengembalikan tegaknya khilafah Islamiyah. Bahkan, saat itu telah ada orang yang mendakwakan diri sebagai khalifah, yaitu Husein bin Ali dari Hijjaz, dan Raja Fuad dari Mesir. Namun, mereka tidak diakui sebab dianggap tidak mewakili kekuasaan umat Islam, tetapi hanya sebagian umat saja.
Para ulama kontemporer juga telah banyak yang menyepakati akan wajibnya sebuah kekhalifahan. Hizbut Tahrir, termasuk salah satu kelompok yang mewajibkan tegaknya khilafah Islam. Bahkan Hizbut Tahrir telah mempersiapkan konsep negara khilafah yang akan berdiri kelak dengan sistem pemerintahan Islam, sistem politik dalam dan luar negeri Islam, sistem sosial Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan Islam, dan lain sebagainya. Namun yang mengherankan, di tengah-tengah tumbuhnya semangat mengembalikan tegaknya negara khilafah (dengan berbagai metodenya, termasuk Hizbut Tahrir), ada saja orang masih meragu-ragukan dengan menyatakan bahwa ijtihad itu hanya versi Taqiyuddin An Nabhani, sehingga negara khilafah hasil rancangan Hizbut Tahrir adalah negara Khilafah Nabhaniyah bukan negara Khilafah Nubuwwah.
Yang menggelikan lagi, orang yang meragukan atau menolak hasil ijtihad Hizbut Tahrir itu, sama sekali tidak mampu memberikan argumen yang kuat ketika disuruh menjabarkan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Ya, mereka yang menolak ijtihad Hizbut Tahrir itu pada umumnya tidak memahaminya, dan tidak mampu menjelaskan maksud dari ‘khilafah ‘ala minhajin nubuwwah’. Padahal, mereka mewajibkannya.
Sungguh aneh, ada orang yang mewajibkan tegaknya negara khilafah, tidak memiliki gambaran tentang negara khilafah, tetapi ketika ada orang yang berusaha memberikan tentang negara khilafah, maka dia menolaknya. Jika demikian, lalu dia mau menegakkan negara apa?
Ingat, negara khilafah yang akan berdiri kelak adalah negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Negara khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah negara khilafah yang didirikan atas manhaj (metode) Rasulullah saw. dan dijalankan dengan metode Rasulullah saw. pula. Bagaimana cara mengetahui cara menjalankannya sesuai metode Rasul saw.? Tentu, tidak lain adalah dengan dalil-dalil syar’I baik dari Alquran maupun Sunnah Rasulullah saw. Dan, ijtihad yang dilakukan Hizbut Tahrir tentang sistem khilafah dan bagaimana menjalankan pemerintahannya, adalah berdasarkan Alquran dan Sunnah Rasulullah saw. dengan hujjah yang kuat. Oleh karena itu, khilafah ‘ala minhajin nubuwwah yang dimaksud adalah khilafah yang dijalankan dengan dalil-dalil syar’i, yaitu Alquran, Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas Syar’i. Jika Hizbut Tahrir telah menjelaskan hal tersebut dalam berbagai kitabnya, lalu mengapa masih pula menolaknya?
Jika demikian, lalu KHILAFAH ‘ALA MINHAJIN NUBUWWAH seperti apa yang dimaksud?

 Hakikat Negara Khilafah
Khilafah, secara etimologis, adalah kedudukan pengganti yang menggantikan orang sebelumnya. Menurut terminologi syar’i, khilafah diartikan sebagai kepimpinan umum, yang menjadi hak seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum syariat Islam (hukum Allah) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.
Batasan “kepimpinan umum” mempunyai konotasi, bahwa khilafah Islam bertugas mengurusi seluruh urusan, yang meliputi pelaksanaan semua hukum syara’ terhadap rakyat, tanpa terkecuali meliputi muslim dan non-muslim. Mulai dari masalah akidah, ibadah, ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, semuanya diurus oleh khilafah Islam.
Bentuk dan sistem pemerintahan Islam adalah sebagai berikut:
a. Negara Islam tidak berbentuk federasi ataupun persemakmuran (commonwealth), tetapi berbentuk kesatuan (union).

b. Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk kerajaan (monarki), baik absolut, seperti kerajaan Saudi Arabia, maupun perlementer, seperti kerajaan Malaysia. Juga tidak berbentuk republik, baik presidensial, seperti Indonesia, maupun parlementer, seperti Rusia. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah, dimana khalifah tidak seperti presiden, juga tidak seperti perdana menteri, atau raja.
c. Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk demokrasi, teokrasi, ataupun autokrasi. Tetapi, sistem pemerintahan Islam adalah sistem khilafah yang tidak sama dengan model pemerintahan yang ada di dunia saat ini.
d. Sistem pemerintahan Islam berbentuk sentralisasi, sedangkan administrasi atau birokrasinya menganut sistem desentralisasi.
e. Bentuk negara Islam yang sesungguhnya juga bukanlah bentuk negara bangsa (nation-state) seperti yang digagas oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo dengan Negara Islam Indonesianya. Tetapi bentuk negara Islam adalah bentuk negara global internasional, sebagai bentuk persatuan umat Islam sedunia.
Sistem khilafah adalah sistem pemerintahan Islam global yang menerapkan hukum-hukum Allah Tuhan Semesta Alam yang diperuntukkan bagi manusia. Banyak hukum yang mengatur masalah khilafah Islam ini telah dibahas oleh ulama fiqih, yang sudah tidak terhitung jumlahnya, baik yang ditulis ulama klasik maupun kontemporer.
• Pemerintahan Islam Bukan Monarki
Sistem pemerintahan Islam tidak berbentuk monarki. Bahkan, Islam tidak mengakui sistem monarki, maupun yang sejenis dengan sistem monarki.
Dalam sistem monarki, pemerintahannya menerapkan sistem waris (putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibaiat oleh umat dengan penuh ridha dan bebas memilih.
Sistem monarki telah memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja, yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara pribadi raja memiliki kekebalan hukum. Dan kadangkala raja/ratu hanya simbol bagi rakyat, dan tidak memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa, seperti yang terjadi di Inggris. Atau kadangkala, ada yang menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya dengan sesuka hatinya, sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania. Termasuk juga, raja-raja Hindu pada zaman dahulu.
Lain halnya dengan sistem Islam. Sistem Islam tidak pernah memberikan kekhususan kepada khalifah atau imam (kepala negara) dalam bentuk hak-hak istimewa atau hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi rakyat namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya. Tetapi, khalifah adalah pihak yang mewakili umat/rakyat dalam masalah pemerintahan dan kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka baiat agar menerapkan syariat Allah. Sehingga khalifah juga tetap harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum. serta pelayanannya terhadap kepentingan umat/rakyat.
Di samping itu, dalam pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak mengambil pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara mengambil pemerintahan yaitu dengan baiat dari umat kepada khalifah atau imam, dengan penuh ridha dan bebas memilih.
Adapun yang terjadi pada masa Bani Umayyah, Abbasiyah, dan Usmaniyah, maka sebenarnya hal itu adalah penyimpangan terhadap syariat, yang tidak akan mempengaruhi sedikit pun hukum wajib tidaknya menerapkan syariat Islam. Hizbut Tahrir mengakui, adanya kesalahan dalam penerapan syariat Islam pada masa dulu memang terjadi. Namun, perlu diingat, bahwa para putra mahkota yang diangkat, juga melalui proses baiat. Bukan semata-mata diangkat menjadi pemimpin. Oleh karena itu, sekalipun terjadi penyimpangan dalam menjalankan negara khilafah pada masa dulu, tetapi tetap bisa disebut sebagai negara khilafah, dengan adanya baiat itu.
Lagipula, pada umumnya orang yang menyatakan bahwa kekuasaan umat Islam zaman dulu bukanlah sistem kekhalifahan tetapi kerajaan, adalah orang yang menentang khilafah dan lebih pro terhadap sistem selain sistem Islam, seperti demokrasi atau yang lainnya. Tetapi masalahnya, ketidakadilan muncul di sini. Jika mereka adil, seharusnya buruknya penerapan sistem demokrasi, juga tidak bisa membuat negara yang menerapkan sistem demokrasi disebut sebagai negara demokrasi. Contohnya Amerika dan Indonesia. Bagi pegiat demokrasi, sekalipun Amerika dan Indonesia mengalami penyimpangan dalam penerapan demokrasi, tetap disebut sebagai negara demokrasi. Lalu mengapa, jika terjadi penyimpangan sedikit saja terhadap sistem pemerintahan Islam, langsung dikatakan bahwa itu bukanlah sistem khilafah? Sesungguhnya, sikap seperti ini hanya muncul dari orang-orang bermental penjajah, tidak bangga dengan keislamannya, dan memiliki sikap tidak adil dalam dirinya.
• Pemerintahan Islam bukan Republik
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta mengubahnya.
Rakyatlah yang menjadikan khamr legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menjadikan klun-klub malam dinilai legal dan tidak legal. Rakyatlah yang menentukan Ahmadiyah itu diakui atau tidak diakui.
Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara’. Dimana kedaulatannya di tangan syara’, bukan di tangan umat/rakyat. Dalam hal ini, baik umat maupun khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat aturan adalah Allah SWT. semata.
Sedangkan khalifah hanya memiliki hak untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar serta perundang-undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah. Karena yang berhak memecat khalifah adalah syara’ semata. Akan tetapi, umat tetap berhak untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka baiat untuk menjadi wakil mereka.
Dalam sistem republik dengan bentuk presidensiilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri, sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri dan yang ada hanya para menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik dengan bentuk parlementer, terdapat seorang presiden sekaligus dengan perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana menteri, bukan presiden. Seperti republik Prancis dan Jerman Barat.
Sedangkan di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementerian bersama seorang khalifah seperti halnya dalam konsep demokrasi, yang memiliki spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem khilafah Islam hanyalah para mu’awin yang senantiasa dimintai bantuan oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana. Ketika khalifah memimpin mereka, maka khalifah memimpin mereka bukan dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab, dalam Islam tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu’awin tetap hanyalah pembantu khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.
Selain dua bentuk tersebut –baik presidensiil maupun parlementer– dalam sistem republik, presiden bertanggung jawab di depan rakyat atau yang mewakili suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Kenyataan ini berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang amirul mukminin (khalifah), sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali apabila menyimpang dari hukum syara’ dengan penyimpangan yang menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya adalah hanya mahkamah mazhalim.
Kepemimpinan dalam sistem republik, baik yang menganut presidensiil maupun parlementer, selalu dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih menerapkan hukum syara’ atau tidak. Karena itu, selama khalifah melaksanakan hukum syara’, dengan cara menerapkan hukum-hukum Islam kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari kitabullah serta sunah Rasul-Nya maka dia tetap menjadi khalifah, sekalipun masa jabatannya amat panjang. Dan apabila dia telah meninggalkan hukum syara’ serta menjauhkan penerapan hukum-hukum tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.
Dari pemaparan di atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian jauh antara sistem kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam sistem republik dengan khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen: “Republik Islam”. Sebab, terdapat perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem tersebut pada aspek asas yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem tersebut, serta adanya perbedaan di antara keduanya baik dari segi bentuk maupun substansi-substansi masalah berikutnya.
• Pemerintahan Islam bukan Kekaisaran
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah dengan sistem Islam –sekalipun ras dan sukunya berbeda serta sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan– tidak sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan, berbeda jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah pusat.
Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan (ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat –apapun mazhabnya– yang tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. Dengan adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan sistem kekaisaran.
Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang menjadi daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut tetap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara wilayah tersebut dengan ibu kota negara Islam. Begitu pula masalah keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.
• Pemerintahan Islam bukan Federasi
Sistem pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat dan Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan mudiriyatul fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kairo. Harta kekayaan seluruh wilayah negera Islam dianggap satu.
Begitu pula anggaran belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat, tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau tidak.
Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi, melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun substansi-substansinya. Sekalipun dalam beberapa prakteknya hampir ada yang menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain.
Di samping hal-hal yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem pemerintahan Islam adalah sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang besar. Negara Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima, wali dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi pejabat (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.
Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem khilafah. Dan ijma’ sahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah dan kesatuan negara serta ketidakbolehan berbaiat selain kepada satu khalifah. Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur fuqaha’. Yaitu apabila ada seorang khalifah dibaiat, padahal sudah ada khalifah yang lain atau sudah ada baiat kepada seorang khalifah, maka khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah yang pertama terbaiat. Sebab secara syar’i, baiat telah ditetapkan untuk orang yang pertama kali dibaiat dengan baiat yang sah.
Demikianlah sistem khilafah yang telah diijtihad Hizbut Tahrir. Benar, banyak orang menolaknya. Tetapi tidak sedikit yang menerima. Insya Allah khilafah ‘ala minhajin nubuwwah akan segera kembali.
| | 0 komentar | Read More

THE KHILAFAH HAS BEEN ESTABLISHED (IT NOW NEEDS TO BE ANNOUNCED)

They promised shock and awe. They promised psychological warfare. They promised liberation. They delivered bloodshed. The crusading forces are now fighting their way to Baghdad, no flowers to greet them on streets but plenty of bullets. The brave Muslims of Iraq, with their simple weaponry resist the western crusaders in a way that brings hope for all Muslims around the world. It is now clear for all to see, especially the Muslims who work to restore the rule of Islam and bring life to their ideology, that Western 'Civilisation' is dead. Dead and buried. The West has failed to convince the Muslims of their ideology, Capitalism. They have failed to convince us of Secularism. The hypocrisy of democracy has become transparent. The charade of International law and the U.N. has been exposed. The entire Muslim World today calls for a change, and this change is no longer inspired by the western people or the western ideology, but in spite of it. We have seen from Amman to Rawalpindi, Mombasa to Damascus, huge demonstrations against the war. Unlike the demonstrations in the West (which have largely retained the status quo by calling for the Western ideological solutions)  these demonstrations are against the rulers of the Muslim world, calling for the 55 odd 'cartoonic' states to stop their acquiescence with the Crusaders and send their armies to intervene. Many of these demonstrations have been suppressed by the governments. Indeed these states are on their last legs. Even America has given up on them, choosing instead to directly colonise the Muslim World as Britain did before it. The new American Viceroy will be an American diplomat; at least this is what they hope. The time has come for a change. The time has come to remove the rulers plaguing the Muslim world, either directly through the masses or through the strongest elements. And it is to these strongest elements that the Muslims in the West must direct their attention to. In reality, Khilafah has been established – it now needs to be announced. The people are ready, the rulers have failed, what is left is for a general in Syria or Egypt, Pakistan or Turkey to feel sufficiently agitated that he picks up the phone. The Muslims in the West need to call louder for Khilafah, louder than they ever have - to send that final message that the Ummah is ready. Any work that detracts us from Khilafah detracts us from saving the Muslims of Iraq. We believe, by the will of Allah (swt), change is not far away. Then let the believers rejoice. [] Jalaluddin Patel
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Watch videos at Vodpod and more of my videos

Followers

Foto Saya
bilal mubaraqi
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
a sore loser | full time dreamer | part time achiever | self centered servant | educator | big brother of insolent brothers | arts lover | half ass photographer
Lihat profil lengkapku