NU: Perlawanan Terhadap Penjajah.

Al-Khilafah Islamiyah Perkara Mendesak..

Mendudukan Sejarah Kekhilafah`n Islam.

HUKUM ISLAM (bagian 3 -Akhir-)

/ On : Selasa, April 19, 2011/

Macam-macam Hukum Syara'
Seruan syara' yang terdapat dalam dalil senantiasa berbentuk perintah dan larangan. Hanya saja tidak setiap seruan yang berbentuk perintah wajib dilaksanakan sehingga mendapat siksa jika meninggalkannya dan tidak setiap larangan syara' berarti haram dilakukan sehingga mendapat siksa jika mengerjakannya. Kita tidak bisa secara langsung menentukan hukum suatu perbuatan (halal atau haram) hanya dengan melihat adanya perintah atau larangan dalam ayat atau hadits. Karena dalam al-Quran maupun as-Sunah ada perintah yang bersifat tegas ada juga yang tidak tegas. Begitu dalam al-Quran dan as-Sunah ada larangan yang bersifat tegas dan larangan yang tidak tegas. Perintah dan larangan dalam nash memiliki tingkat-tingkat tertentu, maka dari itu para ulama membagi hukum syara' menjadi lima jenis berdasarkan tingkat ketegasan dalil, yaitu Wajib, Sunah, Mubah, Makruh dan Haram. Lima hukum ini kita kenal dengan Ahkam al-Khomsah.

Wajib
Wajib adalah hukum bagi suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan yang meninggalkannya mendapatkan dosa. Secara dalil hukum wajib diketahui dari adanya perintah (indikasi) yang menunjukkan ketegasan perintah, yaitu berupa pujian bagi pelakunya dan celaan bagi yang meninggalkannya. Misalnya hukum mengenai jihad.
﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ﴾
"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya" (TQS. at-Taubah : 29).
 Indikasi yang menujukan bahwa perintah tersebut menuntut suatu pelaksanaan secara tegas adalah:

﴿إِلاَ تَنْفِرُوا يُعَذِّبْكُمْ عَذَابًا أَلِيمًا﴾
"Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih." (TQS. at-Taubah : 39).

Sunah (Mandub)
Sunah adalah hukum bagi suatu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala namun bila ditinggalkan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa. Sedangkan secara dalil hukum sunah diketahui bila ada perintah yang bersifat tidak tegas yang ditunjukkan oleh indikasi (qarinah) berupa pujian bagi yang melakukannya tetapi tidak ada celaan bagi yang meninggalkannya. Contohnya adalah dalil mengenai shalat tahajud (Qiyamullail) Rasulullah Saw bersabda :

Dari Abu Hurairah , “ Tatkala Nabi Saw. Ditanya orang, ‘ Apakah shalat yang lebih utama dari shalat fardu yang lima?’ jawab beliau, ‘ shalat pada waktu tengah malam’,” (THR. Muslim).

Dan firman Allah SWT :

﴿وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا﴾
"Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji." (TQS. al-Isra’: 79).

Mubah
Mubah adalah hukum bagi suatu perbuatan yang merupakan pilihan. Atau tidak ada pahala dan dosa karena melakukan atau meninggalkannya. Secara dalil hukum mubah diketahui dari apa yang ditunjukan oleh dalil sam’i (wahyu) terhadap seruan syar’i yang didalamnya terdapat pilihan, antara melakukannya atau meninggalkannya.

Makruh
Makruh adalah hukum bagi perbuatan yang jika ditinggalkan mendapat pahala namun jika dilakukan tidak mendapat pahala dan tidak berdosa. Secara dalil suatu perbuatan termasuk makruh jika terdapat larangan yang tidak tegas yang ditunjukkan oleh indikasi (qarinah) berupa pujian bagi yang meninggalkannya, atau meninggalkannya lebih utama dari pada melakukannya. Contohnya adalah hukum mengenai membujang.

﴿حَدِيثُ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ : أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي﴾
Diriwayatkan dari Anas ra: Sesungguhnya beberapa orang Sahabat bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw mengenai amalan yang dilakukan oleh baginda secara diam-diam. Maka ada di antara mereka yang mengatakan bahawa dia tidak akan menikah. Ada juga yang mengatakan bahawa dia tidak makan daging dan ada pula yang mengatakan bahawa dia tidak pernah tidur di atas hamparan. Mendengar hal itu, Nabi Saw memuji Allah dan bersabda: ada apa dengan kaum itu, mereka berbicara ini dan itu, sesungguhnya aku mendirikan shalat dan aku juga tidur, aku berpuasa, berbuka dan aku juga menikah. Maka siapa saja yang tidak suka sunahku, dia bukanlah golonganku." (THR. Bukhari, Muslim, an-Nasai, Ahmad).
 Sesunguhnya Rasulullah mencegah seorang muslim yang mampu untuk membujang, akan tetapi bukan berarti perbuatan tersebut haram, karena tidak ada larangan yang tegas karena ada indikasi lain. Misalnya, Rasulullah Saw berdiam diri atau tidak memaksa seseorang yang mampu tapi tidak segera menikah dan Rasulullah Saw tidak menghukum sahabat yang tidak menikah.

Haram
Haram adalah hukum bagi suatu perbuatan yang jika ditinggalkan mendapat pahala dan jika dilakukan mendapat dosa. Secara dalil hukum haram diketahui jika terdapat larangan yang tegas, yang ditunjukkan oleh indikasi (qarinah) berupa celaan bagi yang melakukannya dan adanya pujian bagi yang meninggalkannya. Contohnya adalah hukum mengenai zina.

﴿وَلاَ تَقْرَبُوا الزِّنَا﴾
Janganlah mendekati zina “ (TQS. al-Isra’: 32).


 Indikasi yang menunjukkan keharaman berzina adalah:

﴿إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلاً﴾
“ Sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk . “  (TQS. al-Isra’: 32).


Hukum Benda
Adapun hukum benda penting untuk diketahui, karena setiap perbuatan manusia tidak pernah terlepas dari benda-benda. Benda-benda tersebut digunakan sebagai sarana dalam beraktivitas. Namun hukum benda berbeda dengan hukum perbuatan, hukum yang berkaitan dengan benda hanya ada dua yaitu halal dan haram. Dari seluruh nash yang membahas mengenai hukum benda, ternyata Allah SWT menentukan sifat pada benda hanya terbagi menjadi dua yaitu halal dan haram.

﴿قُلْ أَرَأَيْتُمْ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ لَكُمْ مِنْ رِزْقٍ فَجَعَلْتُمْ مِنْهُ حَرَامًا وَحَلاَلاً قُلْ آللَّهُ أَذِنَ لَكُمْ أَمْ عَلَى اللَّهِ تَفْتَرُونَ﴾
"Katakanlah: "Terangkanlah kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?" (TQS. Yunus: 59).

﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ﴾
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah." (TQS. al-Baqarah: 173).

Penentuah halal dan haramnya suatu benda adalah hak Allah SWT, tidak seorangpun boleh ikut campur didalamnya. Siapa saja yang berbuat demikian maka telah berdosa dan melampaui batas.

﴿وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَاذَا حَلاَلٌ وَهَاذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ﴾
"Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung." (TQS. an-Nahl: 116).
Dan dalam masalah hukum benda berlaku sebuah kaidah syara': "Hukum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil yang mengharamkan."[1]
Kaidah ini diambil dari sejumlah dalil. Hukum benda secara umum adalah mubah ditunjukkan oleh dalil berikut:

﴿هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الآرْضِ جَمِيعًا ﴾
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu..." (TQS.  al-Baqarah 22).

Kemudian Allah SWT memberikan pengecualian dari dalil tersebut dengan mengharamkan beberapa jenis benda secara khusus yakni :

﴿إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ﴾
"Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah." (TQS. al-Baqarah: 173).

﴿قُلْ لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾
"Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi --karena sesungguhnya semua itu kotor-- atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.."(TQS. al-An'am: 145).

Begitu juga ada beberapa hadits yang mengharamkan beberapa benda. Misalnya Rasulullah  melarang memakan keledai jinak, binatang  buas yang bertaring dan burung yang bercakar tajam.

﴿حَدِيثُ أَبِي ثَعْلَبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السَّبُعِ﴾
Diriwayatkan dari Abu Sa'labah ra bahwa: "Nabi Saw melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring." (THR. Bukhari dan Muslim).

﴿حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ لُحُومِ الْحُمُرِ الآهْلِيَّةِ﴾
Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra bahwa: "Rasulullah Saw melarang memakan daging keledai peliharaan." (THR. Bukhari dan Muslim).

Maka hukum asal benda adalah mubah (halal) kecuali benda-benda tertentu yang diharamkan oleh dalil secara khusus.
Antara hukum perbuatan dan hukum benda terdapat hubungan yang sangat erat yang menentukan status hukum suatu aktivitas. Apabila manusia melakukan perbuatan yang halal (wajib, sunah, mubah atau makruh) dengan menggunakan benda yang halal maka hukumnya halal. Apabila melakukan aktivitas yang halal dengan menggunakan benda yang haram, maka hukumnya haram. apabila melakukan aktivitas yang haram dengan menggunakan benda hanya halal, maka hukumnya haram. Dan apabila melakukan aktivitas yang haram dengan benda yang haram, maka hukumnya haram.
Dari penjelasan umum tersebut dapat dirincikan hukum-hukum untuk mengatur semua aspek kehidupan sebagaimana sifat Islam yang syumul. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia sehingga tidak ada satu masalah pun yang luput dari hukum Islam. Islam mengatur kehidupan manusia dengan aturan yang terperinci sehingga memungkinkan manusia untuk meraih kesejahteraan.
Sebagai seorang muslim kita wajib untuk memahami dan menerapkannya, karena Islam telah hadir dihadapan kita dan Rasul telah diutus untuk menyampaikannya.

﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولاً﴾
"Dan Kami tidak akan meng`azab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (TQS. al-Isra’: 15).

﴿رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا﴾
“(Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.“ (TQS. an Nisaa : 165).

Setelah Allah SWT mengutus seorang Rasul kepada kita, tidak ada alasan lagi untuk menolak risalah yang dibawa oleh Rasul tersebut dan menolak untuk berhukum kepadanya.

﴿وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
"Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu." (TQS. al-Maidah: 48).

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir." (TQS. al-Maidah: 44).

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴾
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim." (TQS. al-Maidah: 45).

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ﴾
"Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik." (TQS. al-Maidah: 47).


[1] As-Suyuti, Al-Asybaah wa an-Nadha'ir, halaman 60.

0 komentar:

Posting Komentar

be nice, keep it clean my friend

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Watch videos at Vodpod and more of my videos

Followers

Foto Saya
bilal mubaraqi
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
a sore loser | full time dreamer | part time achiever | self centered servant | educator | big brother of insolent brothers | arts lover | half ass photographer
Lihat profil lengkapku