NU: Perlawanan Terhadap Penjajah.

Al-Khilafah Islamiyah Perkara Mendesak..

Mendudukan Sejarah Kekhilafah`n Islam.

Posisi Hizb Islam Dalam Konteks Hadits Hudzaifah Ra.

/ On : Sabtu, April 09, 2011/

Apakah Kelompok, Partai, atau Harakah Islam Yang Ada di Negeri-negeri Islam Sekarang Termasuk Firqah yang Harus Dijauhi?
            Ada sebagian kaum Muslim memahami bahwa keberadaan partai, jama’ah, kelompok, atau organisasi-organisasi Islam yang berdiri di tengah-tengah kaum Muslim termasuk firqah yang harus dijauhi oleh seluruh kaum Muslim.  Mereka beralasan; (1) ada perintah dari Nabi Mohammad saw kepada kaum Muslim untuk mengikatkan diri dengan jama’ah al-Muslimin dan meninggalkan firqah-firqah; (2) kelompok-kelompok ini telah menyebabkan kaum Muslim terpecah belah dalam partai-partai dan kelompok-kelompok; (3) masing-masing kelompok fanatik dengan kelompoknya sendiri.  Berdasarkan alasan-alasan ini, lalu mereka mengharamkan semua kutlah (kelompok, gerakan, partai, organisasi, jama’ah), walaupun kelompok (hizb) itu memperjuangkan Islam.
            Untuk alasan pertama, mereka mengetengahkan sebuah hadits yang dituturkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Hudzaifah al-Yamaniy ra, bahwasanya beliau ra berkata;

كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
Orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan.  Sedangkan aku bertanya kepada beliau saw mengenai keburukan, karena khawatir keburukan itu akan menimpaku.  Aku bertanya, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya, kami dahulu berada di masa jahiliyyah dan keburukan.  Lalu, Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini.  Lantas, apakah setelah kebaikan ini akan datang keburukan?  Nabi saw menjawab, ”Ya”. Saya bertanya lagi,”Apakah setelah keburukan itu akan ada kebaikan? Nabi saw menjawab, ”Ya, dan di dalamnya terdapat ”dakhan” (kotoran).  Aku bertanya, ”Apa kotorannya?” Beliau menjawab, ”Kaum yang memberi petunjuk bukan dengan petunjukku; yang mana kamu mengenal mereka, dan kamu akan mengingkari”.  Aku bertanya lagi, ”Apakah setelah kebaikan itu akan datang keburukan lagi?  Nabi saw menjawab, ”Ya, orang-orang yang mengajak ke pintu-pintu neraka.  Siapa saja yang menerima ajakan mereka menuju pintu-pintu neraka, mereka akan melemparkannya ke dalam neraka”.  Aku bertanya lagi, ”Ya Rasulullah, beritahukanlah sifat-sifat mereka kepada kami”.  Nabi saw menjawab, ”Mereka memiliki kulit yang sama dengan kita, dan berbicara dengan bahasa-bahasa kita”.  Aku bertanya lagi, ”Apa yang engkau perintahkan kepada kami, jika hal itu menimpaku?  Nabi saw menjawab, ”Tetapilah jama’at al-Muslimiin dan imam mereka”.  Aku bertanya, ”Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam”.  Nabi saw bersabda, ”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
            Menurut mereka, hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslim wajib menjauhi firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang ada, di saat kaum Muslim tidak memiliki jama’ah dan imam.   Masih menurut mereka, pengertian semacam ini terlihat jelas dalam redaksi hadits;


 فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
”Hudzaifah ra bertanya, ”Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam”.  Nabi saw bersabda, ”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
            Berdasarkan hadits ini mereka berpendapat bahwa, keberadaan firqah (kelompok, partai, hizb, dan  jama’ah) di dunia Islam saat ini merupakan sesuatu yang terlarang dan harus dijauhi oleh seluruh kaum Muslim sebagai bentuk pengamalan hadits riwayat Hudzaidah al-Yamaniy di atas.  Oleh karena itu, masih menurut mereka, kaum Muslim dilarang mendirikan, berkecimpung, atau melibatkan diri dalam kelompok, partai, atau hizb, apapun alasannya. 
            Istinbath semacam ini tidak tepat.  Sebab, kesimpulan seperti itu belum melibatkan dan mencakup keseluruhan nash yang berbicara mengenai jama’ah (kelompok, hizb, jamaa’ah, firqah, dan thaaifah).   Sesungguhnya, di samping terdapat kewajiban menjauhi firqah, seperti yang tercantum di dalam hadits Hudzaifah al-Yamaniy di atas, ada pula perintah sebaliknya, yakni perintah mendirikan kutlah, kelompok, firqah, hizb, atau thaaifah.  Perintah untuk mendirikan jamaa’ah, firqah, atau thaaifah, disebutkan secara tegas di dalam al-Quran.  Allah swt berfirman;

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. [TQS Ali Imron (3):104]
            Imam Ibnu Katsir menyatakan;

والمقصود من هذه الآية أن تكون فرْقَة من الأمَّة متصدية لهذا الشأن، وإن كان ذلك واجبا على كل فرد من الأمة بحسبه، كما ثبت في صحيح مسلم عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ". وفي رواية: "وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ"
Maksud ayat ini adalah, hendaknya ada kelompok (firqah) dari umat ini (umat Islam) yang siap sedia menjalankan tugas tersebut (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar), walaupun (dakwah menuju Islam dan amar makruf nahi ‘anil mungkar) juga kewajiban setiap individu umat ini; sebagaimana telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, “

"مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَده، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أضْعَفُ الإيمَانِ". وفي رواية: "وَلَيْسَ وَرَاءَ ذَلِكَ مِنَ الإيمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ" .
Siapa saja diantara kalian yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya ia ubah dengan tangannya.  Jika ia tidak mampu (mengubah dengan tangan) hendaknya dengan lisannya.  Dan jika ia tidak mampu (mengubah dengan lisannya), hendaknya dengan hatinya”.  Di dalam riwayat lain dituturkan, ”Setelah itu tidak ada keimanan seberat biji gandum pun”.[HR. Imam Muslim dari Abu Musa al-Asy’ariy][1]
            Di dalam Tafsir al-Thabariy disebutkan, ”Abu Ja’far menyatakan, ”..yakni adanya jamaa’ah (kelompok) yang menyeru manusia menuju kebaikan, yakni Islam dan syariat Islam yang telah disyariatkan Allah atas hambaNya; dan melakukan amar ma’ruf nahi ’anil mungkar; yakni memerintahkan manusia untuk mengikuti Nabi Muhammad saw, dan agamanya yang berasal dari sisi Allah swt; dan mencegah kemungkaran; yakni mereka mencegah dari ingkar kepada Allah, serta (mencegah) mendustakan Nabi Muhammad saw dan ajaran yang dibawanya dari sisi Allah....”[2]
            Imam Ali Al-Shabuniy menyatakan, ”Maksudnya, hendaknya dirikanlah kelompok (thaaifah) dari kalian (umat Islam) untuk berdakwah menuju Allah, dan untuk mengajak kepada setiap kebajikan dan mencegah dari setiap kemungkaran”.[3] 
            Dengan demikian, ayat di atas menunjukkan dengan sangat jelas bahwa, Allah swt telah memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan jama’ah, thaifah, hizb, atau kelompok dari kalangan kaum Muslim yang bertugas menyeru kepada Islam dan melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar. Frase ”minkum” pada ayat di atas merujuk kepada kaum Muslim, bukan merujuk kepada non Muslim.  Semua ini menunjukkan bahwa ”jama’ah” tersebut harus beranggotakan orang-orang Muslim, bukan orang-orang kafir. 
            Lalu, bagaimana mengkompromikan hadits Hudzaifah al-Yamaniy yang memerintahkan kaum Muslim menjauhi firqah, dengan al-Quran yang justru memerintahkan kaum Muslim mendirikan firqah (kelompok)?  Kompromi kedua dalil ini adalah sebagai berikut.
            Pada dasarnya, maksud sabda Nabi saw agar kaum Muslim menjauhi firqah-firqah yang yang tercantum di dalam hadits Hudzaifah ra tidak bersifat mutlak untuk semua firqah (kelompok), akan tetapi sebatas pada firqah-firqah (kelompok) yang menyimpang dari al-Quran dan Sunnah.   Artinya, jika kelompok, partai, atau jamaa’ah tersebut telah menyimpang dari jalan lurus yang digariskan Allah swt dan RasulNya, maka firqah tersebut harus dijauhi, dan seorang Muslim tidak boleh berkecimpung di dalamnya.  Sedangkan firqah, thaaifah, jamaa’ah, maupun hizb yang didirikan untuk mengamalkan perintah Allah swt surat Ali Imron ayat 104; dan selama firqah, thaaifah, jamaa’ah, maupun hizb tersebut tetap berdiri di atas al-Quran dan Sunnah serta menyeru kepada kebaikan; maka kelompok-kelompok seperti ini bukan termasuk firqah yang harus dijauhi.  Bahkan, kelompok semacam ini wajib ada di tengah-tengah kaum Muslim untuk melakukan amar makruf nahi ’anil mungkar, walaupun jumlahnya lebih dari satu.
            Makna semacam ini tampak jelas dalam sabda Rasulullah saw;

 فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
”Hudzaifah ra bertanya, ”Lalu, bagaimana jika mereka tidak memiliki jama’ah dan imam”.  Nabi saw bersabda, ”Jauhilah semua firqah tersebut, meskipun engkau harus menggigit akar pohon, hingga kematian menjemputmu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]. 
            Lafadz di dalam hadits itu adalah ”fa’tazil tilka al-firaqa kullaha”.  Kata ”tilka” menunjukkan bahwa firqah yang dimaksud bukanlah semua firqah secara keseluruhan.  Akan tetapi, semua firqah yang memiliki sifat sebagaimana yang disebutkan Nabi dalam lafadz sebelumnya, yakni, ”du’at ila abwaab al-jahannam” (para penyeru kepada pintu-pintu jahannam)”.
Dengan demikian, firqah yang diperintahkan oleh hadits ini untuk dijauhi adalah firqah-firqah yang mengajak kepada kekufuran atau kemaksiyatan, yang semua itu mengantarkan pelakunya masuk ke dalam neraka jahannam.  Bukan kelompok-kelompok yang berdiri di atas sunnah Rasul dan menegakkan amar makruf nahi ’anil mungkar.
            Adapun terhadap firqah atau kelompok yang tetap berdiri di atas sunnah Nabi saw, dan senantiasa menegakkan amar makruf nahi ’anil mungkar, maka seorang Muslim diperintahkan untuk berada di dalam kelompok tersebut.  Hal ini ditegaskan dalam perintah Allah swt surat Ali Imron ayat 104.  Kaum Muslim diperintahkan mendukung dan melibatkan diri dalam kelompok yang bertujuan untuk melenyapkan kekufuran dan kemungkaran yang telah tersebar luas di tengah-tengah masyarakat akibat diterapkannya aqidah dan sistem kufur. 
            Alasan lain yang mengharuskan seorang Muslim melibatkan diri dalam kelompok, jamaa’ah, atau partai yang berdiri di atas sunnah Nabi saw, dan yang bertujuan menegakkan hukum-hukum Allah secara kaaffah adalah; kenyataan bahwa, perjuangan menegakkan hukum-hukum Allah swt secara menyeluruh tidak mungkin dilakukan seorang diri, atau melalui ’amal fardiy (kerja individual).  Tujuan semacam ini hanya bisa diwujudkan melalui perjuangan yang bersifat kolektif (’amal jamaa’iy).  Selain itu, perjuangan menegakkan kembali hukum-hukum Allah swt secara kaaffah merupakan perjuangan yang sangat berat dan membutuhkan andil banyak orang; dan tidak mungkin dipikul oleh seorang individu saja.  Kaedah syar’iyyah menyatakan;

مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Tidak tersempurnanya suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu menjadi wajib”
            Adapun untuk alasan kedua yang menyatakan bahwa, keberadaan kelompok-kelompok tersebut telah menyebabkan kaum Muslim terpecah belah, sehingga kelompok itu harus dijauhi; sesungguhnya alasan semacam ini tidaklah benar.  Harus ditegaskan; banyaknya kelompok, partai, atau jama’ah yang berdiri di atas Islam bukan sesuatu yang terlarang.  Sebab, kata ”ummah” dalam Surat Ali Imron:104 berbentuk ism al-jins sehingga tidak membatasi hanya satu.   
Pada dasarnya, salah satu faktor yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah adalah, adanya fanatisme kelompok dan  madzhab yang berlebih-lebihan.  Sikap inilah, sesungguhnya yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah, bukan banyaknya kelompok, partai, maupun madzhab.  Di dalam lintasan sejarahnya, kaum Muslim telah terbiasa dengan banyak madzhab dan kelompok, akan tetapi mereka tetap bisa bersatu dan tidak terpecah belah.  Faktor lain yang menyebabkan kaum Muslim terpecah belah adalah ketiadaan seorang Imam (Khalifah).
            Adapun alasan ketiga untuk menolak keberadaan kelompok, partai, dan jama’ah Islam adalah,  masing-masing kelompok tersebut  fanatik dengan kelompoknya sendiri dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka.  Mereka mengetengahkan firman Allah swt;

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
“yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.[TQS al-Ruum (30): 32], dan masih banyak ayat-ayat yang memiliki pengertian senada, misalnya Al-Maidah (5):53; al-Mu`minuun (23):54], dan sebagainya. 
            Berdasarkan ayat ini, mereka menyatakan bahwa kelompok, partai, atau jamaa’ah yang ada sekarang ini telah menyebabkan munculnya sikap fanatisme kelompok dan berbangga-bangga dengan kelompoknya sendiri, sehingga mereka harus dijauhi.  Oleh karena itu, semua hizb (kelompok) adalah haram.  Lantas, benarkah pendapat semacam ini?    Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita simak penjelasan para ulama tafsir tentang ayat ini.
            Imam Ibnu Katsir di dalam Tafsir Ibnu Katsir menyatakan;

وقوله: { مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ } أي: لا تكونوا من المشركين الذين قد فرقوا دينهم أي: بدلوه وغيروه وآمنوا ببعض وكفروا ببعض.  وقرأ بعضهم: "فارقوا دينهم" أي: تركوه وراء ظهورهم، وهؤلاء كاليهود والنصارى والمجوس وعَبَدة الأوثان، وسائر أهل الأديان الباطلة، مما عدا أهل الإسلام، كما قال تعالى: { إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ } [الأنعام: 159]، فأهل الأديان قبلنا اختلفوا فيما بينهم على آراء وملَل باطلة، وكل فرقة منهم تزعم أنهم على شيء،  وهذه الأمة  أيضًا اختلفوا فيما بينهم على نحل كلها ضلالة  إلا واحدة، وهم أهل السنة والجماعة، المتمسكون بكتاب الله وسنة رسول الله  صلى الله عليه وسلم، وبما كان عليه الصدر الأول من الصحابة والتابعين، وأئمة المسلمين في قديم الدهر وحديثه، كما رواه الحاكم في مستدركه أنه سئل، عليه السلام  عن الفرقة الناجية منهم، فقال: "ما أنا عليه [اليوم]  وأصحابي" .
Adapun firman Allah swt: (min al-ladziina farraquu diinahum wa kaanuu syiya’an kullu hizb bimaa ladaihim farihuun), maksudnya adalah, “janganlah kalian menjadi bagian orang-orang musyrik yang telah memecahbelah agama mereka; yakni mengganti dan mengubah agamanya, iman terhadap sebagian dan kafir (ingkar) terhadap sebagian yang lain.  Sebagian ulama membaca dengan : (faaraquu diinahum), yang maknanya adalah “taarakuuhu wara`a dzahrihi” (meninggalkan agamanya di belakang punggung mereka).  Mereka itu seperti orang-orang Yahudi, Nashraniy, Majusiy, penyembah berhala, dan semua pemilik agama bathil; selain penganut agama Islam; sebagaimana firman Allah swt, artinya “ Sesungguhnya, orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggungjawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya, urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.[TQS Al An’aam (6):159]   Penganut agama sebelum kita telah berselisih di antara mereka mengenai pemikiran-pemikiran dan syariat-syariat agama yang bathil.  Setiap kelompok mengaku berada di atas kebenaran.   Umat ini (umat Islam) juga akan berselisih dalam urusan agama, dan seluruhnya, kecuali satu kelompok, yakni ahlu al-sunnah wa al-jamaa’ah yang senantiasa berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah NabiNya, dan apa yang telah ditempuh oleh generasi awal Islam dari kalangan shahabat ra dan tabi’uun dan para ulama kaum Muslim baik salaf maupun khalaf; sebagaimana dituturkan oleh Imam al-Hakim di dalam al-Mustadrak, bahwasanya Nabi saw ditanya tentang firqah al-naajiyah (kelompok yang selamat) dari kalangan mereka.  Nabi saw menjawab, ”Kelompok yang berada di atas jalan yang aku tempuh saat ini dan juga para shahabat”.[4]
            Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah disimpulkan bahwa kelompok (firqah) yang dicela dan berbangga-bangga dengan apa yang ada pada diri mereka, adalah kelompok yang berbangga-bangga dengan keyakinan dan pendirian mereka yang sesat dan kufur.  Kelompok ini telah mengganti dan mengubah sendi keyakinan dan syariat agama mereka, lalu mereka berbangga-bangga dengan keyakinan dan syariat agama yang telah menyimpang dan sesat itu.   Kebanggaan yang dilarang di dalam ayat tersebut adalah kebanggaan dalam kesesatan dan kekufuran.  Sedangkan kebanggaan dalam Islam atau pada perkara yang wajib dibanggakan bukanlah kebanggaan yang dilarang.   Misalnya, seorang Muslim harus berbangga dengan dan menunjukkan keislamannya.  Sebab, secara bahasa kata al-farh berarti naqiidl al-huzn (lawan dari sedih)[5].  Menurut ulama tafsir, frase (farihuun) pada ayat di atas bermakna masruurun, mu’jibuun, dan raadluun (senang, kagum, dan ridla)[6].    Dengan demikian, seorang Muslim wajib ridlo, senang, dan kagum dengan agama Allah dan para perkara yang boleh dibanggakan.  Allah swt berfirman;

قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
”Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira (yafrahuu). Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan". [TQS Yunus (10):58]
            Berbangga dan bergembira dengan kurnia dan rahmat Allah sesuatu yang dibenarkan, dan tidak dilarang.  Sedangkan berbangga dengan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dibanggakan adalah terlarang.  Misalnya, Allah swt berfirman;

وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا ءَاتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
” dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri”. [TQS Al Hadiid (57):23]
            Oleh karena itu, berbangga-bangga yang dilarang dalam konteks ayat di atas (surat Ruum: 32) adalah berbangga-bangga dalam kesesatan dan kekufuran. Sedangkan berbangga-bangga dalam kebenaran dan keIslaman bukanlah sesuatu yang dilarang.
            Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa, ayat ini tidak bisa ditujukan kepada kelompok-kelompok Islam yang masih tegak di atas sunnah Nabi saw, dan tidak mengganti sendi-sendi dan syariat agama Islam.   Semampang, aqidah mereka tetap Islam, dan mereka masih berjalan di atas jalan yang lurus, dan berjuang untuk menegakkan Islam, maka kelompok seperti ini bukanlah firqah yang disinggung oleh ayat ini.
            Oleh karena itu, kelompok Islam, baik yang berbentuk jamaa’ah, partai, atau hizb yang ada di dunia Islam saat ini, yang didirikan untuk memenuhi seruan Allah swt dalam surat Ali Imron ayat 104, dan yang tetap berdiri di atas jalan lurus (sunnah Nabi saw), bukanlah kelompok yang diharamkan.  Kelompok-kelompok seperti ini tidak boleh dijauhi, bahkan seorang Muslim wajib membantu perjuangan mereka dengan harta dan jiwa.  
            Sedangkan kelompok, partai, atau jamaa’ah yang didirikan di atas aqidah kufur, semacam sekulerisme, demokrasi, sosialisme, nasionalisme, dan sebagainya; serta bertujuan untuk menerapkan dan melanggengkan sistem kufur, maka kelompok-kelompok seperti ini adalah kelompok yang harus dijauhi; dan kaum Muslim dilarang membantu atau melibatkan diri di dalamnya.  Pasalnya, kelompok ini tidak berada di atas jalan yang lurus (sunnah Nabi saw), alias telah menyimpang dari jalan Islam.   Kelompok-kelompok seperti inilah yang dimaksud oleh nash-nash al-Quran dan hadits riwayat Hudzaifah al-Yamaniy di atas, sebagai firqah yang sesat dan harus dijauhi kaum Muslim. Bukan hizb atau firqah yang tetap berjalan di atas sunnah Nabi saw. 
            Di samping itu, Rasulullah saw juga secara tegas menyebutkan dan memuji keberadaan firqah naajiyyah (kelompok yang selamat).
            Nabi saw juga memuji dan menyebut ’thaaifah al-zhaahirah’ (kelompok yang menang).

Kewajiban Mendirikan Jama'ah atau Partai Politik Berbasis Islam
            Al-Quran telah menyatakan dengan sangat jelas adanya kewajiban atas kaum Muslim untuk mendirikan jama'ah, partai politik, hakarah, atau hizb.   Allah swt berfirman:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. [TQS Ali Imran (3) : 104]
               Menurut Ibnu Katsir, maksud ayat ini adalah hendaknya ada firqah (kelompok) dari umat ini (umat Islam) yang melaksanakan kewajiban tersebut (yad'una ila al-khair wa ya'muruuna bi al-ma'ruf wa yanhauna 'an al-mungkar), meskipun kewajiban tersebut juga berlaku bagi setiap individu umat ini; seperti yang telah ditetapkan di dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah, "Siapa saja diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya; jika tidak mampu hendaklah ia mengubahnya dengan lisannya, dan jika tidak mampu, maka ubahlah dengan hatinya, dan ini adalah selemah-lemah iman."[HR. Muslim] [Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron:104]
               Beberapa ahli tafsir lain memaknai kata (ummah) di dalam ayat itu dengan jamaa’ah[7].   Ulama tafsir lain memaknainya dengan “thaaifah”.[8]  Sedangkan kata al-jamaa’ah, firqah, dan thaaifah memiliki pengertian yang sama, yakni sekumpulan manusia[9].
               Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, meskipun di satu sisi, Allah swt memerintahkan kaum Muslim untuk hidup di dalam satu kesatuan ummat, yakni jamaa’at al-muslimiin (seluruh kaum Muslim yang dipimpin seorang khalifah), akan tetapi, di sisi lain, Allah juga memerintahkan kaum Muslim untuk mendirikan "firqah, thaaifah, atau jamaa’ah (kelompok)" dari kalangan kaum Muslim, yang bertujuan melaksanakan dakwah menuju Islam (yad’uuna ila al-khair) dan amar makruf nahi ‘anil mungkar; meskipun hal ini juga merupakan kewajiban setiap individu kaum Muslim.
               Kesimpulan seperti ini bisa dimengerti karena, huruf "min" pada frase (minkum) pada surat Ali Imron : 104 tersebut berfungsi untuk "tab'idl" (membatasi) bukan untuk "bayan" (menjelaskan).   Atas dasar itu, kewajiban mendirikan jamaa’ah yang bertugas melakukan dakwah menuju Islam (yad’uuna ila al-khair) dan amar makruf nahi ‘anil mungkar, adalah fardlu kifayah. Adapun sebagian mufassir yang berpendapat bahwa huruf "min" pada surat Ali Imron 104 ini bermakna lil bayan, sesungguhnya pendapat semacam ini telah dilemahkan oleh Imam Thabariy, Ibnu Katsir, Al-Hafidz Suyuthiy, Imam Qurthubiy, dan lain-lain[10].  Menurut Imam Qurthubiy, makna li tab'iidl lebih shahih.
               Adapun makna dari kata “al-khair” yang tercantum dalam frase [yad’uuna ila al-khair: menyeru kepada kebajikan] adalah Islam beserta syariah yang disyariatkan Allah kepada hambaNya.  Ini adalah penafsiran Imam Thabariy[11].  Ada pula yang mengartikan “al-khair” dengan al-diin secara keseluruhan, baik yang menyangkut ushul, furu’, dan syariatnya.  Penafsiran semacam ini diketengahkan oleh Imam al-Sa’diy[12].  Sedangkan mufassir lain menafsirkan “al-khair” dengan Islam itu sendiri[13]
               Sedangkan makna kata “al-makruf” dalam frase [amar makruuf] adalah semua hal yang sejalan dengan al-Kitab dan Sunnah.  Sedangkan ”al-mungkar” adalah semua hal yang bertentangan dengan al-Kitab dan Sunnah[14].         
            Dengan demikian, surat Ali Imron ayat 104 merupakan dalil sharih wajibnya kaum Muslim untuk mendirikan sebuah partai politik yang bertujuan menyeru kepada Islam dan melakukan amar ma'ruf nahi 'anil mungkar.   Hanya saja, hukum mendirikan jama'ah atau partai politik berasaskan Islam adalah fardlu kifayah, bukan fardlu 'ain.   Artinya, jika ada sebagian kaum Muslim yang telah menunaikan kewajiban tersebut, dan mereka berhasil menuntaskan kewajiban tersebut, maka gugurlah kewajiban itu bagi kaum Muslim lainnya.


[1]  Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, surat Ali Imron (3):104; lihat juga Imam Qurthubiy, Tafsir al-Qurthubiy, surat Ali Imron (3):104; Imam Suyuthiy, Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab tafsir lainnya.
[2]  Imam al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, surat Ali Imron (3):104
[3]  Imam Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 221
[4] Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 6, hal. 317
[5]  Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 2, hal. 541; Ibnu Sayyidih, al-Muhkam wa al-Muhiith al-A’dzam, juz 2, hal. 23
[6] Imam An Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil, juz 2, hal. 138 menafsirkan frase “farihuun” dengan masruurun; Imam Zuhailiy, al-Tafsiir al-Muniir, juz 17, hal. 56 menafsirkannya dengan masruurun mu’jibuun; al-Khaazin, Lubaab al-Ta’wiil, juz 3, hal. 273; dan Samarqandiy, Bahr al-’Uluum, juz 2, hal.410, menafsirkannya dengan mu’jibuun raadluun; Imam Qurthubiy, Tafsir Qurthubiy, juz 6, hal. 86, Imam Baidlawiy, Tafsir al-Baidlawiy, juz 2, hl. 106; dan Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 2, hal. 604, mengartikannya dengan mu’jibuun.  Al-Wahidiy, al-Wasiith, juz 3, hal. 292, menafsirkannya dengan raadluun.
[7] Al-Alusi, Ruuh al-Ma’aaniy, juz 2, hal. 237; al-Samarqandiy, Bahr al-‘Uluum, juz 1, hal. 289; Al-Baqaiy, Nadzm al-Durar, juz 2, hal. 132; Ali al-Shabuniy, Shafwat al-Tafaasiir, juz 1, hal. 201.
[8] Al-Jazairiy, Aysar al-Tafaasiir,juz 1, hal. 357-358
[9] Imam Ibnu Mandzur, Lisaan al-‘Arab, juz 8, hal. 53; al-Muhkaam wa al-Muhiith al-A’dzam, juz 1, hal. 120-121; Imam al-Raziy, Mukhtaar al-Shihaah, hal. 501
[10] Imam Qurthubiy, al-Jaami’ li Ahkaam al-Quran, juz 4, hal. 106; Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; al-Zamakhsyariy, al-Kasysyaaf, juz 1, hal. 288; Imam Nasaafiy, Madaarik al-Tanziil wa Haqaaiq al-Ta`wiil, juz 1, hal. 94; Imam al-Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 1, hal. 465; Imam Baidlawiy, Anwaar al-Tanziil wa Asraar al-Ta`wiil, juz 1, hal. 173; dan lain-lain.
[11] Imam Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 3, hal. 385
[12] ‘Abd al-Rahman al-Sa’diy, Taysiir al-Kariim al-Rahmaan, juz 1, hal. 288.
[13] Imam al-Naisaburiy, Tafsiir Gharaaib al-Quran, juz 1, hal. 474-475; Imam Suyuthiy, al-Durr al-Mantsuur, juz 2, hal. 110; Abu Hayyan al-Andalusiy, Tafsiir al-Bahr al-Muhiith, juz 2, hal. 23; dan lain sebagainya.
[14] Imam al-Nasafiy, Tafsir al-Nasafiy, juz 1, hal. 94.

0 komentar:

Posting Komentar

be nice, keep it clean my friend

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Watch videos at Vodpod and more of my videos

Followers

Foto Saya
bilal mubaraqi
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
a sore loser | full time dreamer | part time achiever | self centered servant | educator | big brother of insolent brothers | arts lover | half ass photographer
Lihat profil lengkapku