Sejenak sebelum membuat tulisan ini, saya membaca sebuah pararaf yang membuat saya kembali menerawang kondisi umat islam yang labil. Ibarat anak tiri yang dibesarkan dalam lingkungan penuh diskriminasi dan kebencian. Ya, tak salah lagi! Semua kebencian itu terpusat pada diri sang anak. Kondisi tersebut diperparah dengan sikap rendah diri sang anak yang ridho menerima segala tuduhan yang membuatnya semakin tersisihkan serta hidup dalam penderitaan.
Tersenyum sejenak, saya membayangkan umat islam yang rela menjadi tertuduh atas terorisme, menurunkan derajat perempuan dengan poligami, serta tuduhan miring lainnya mengenai emansipasi, hak asasi, dan kebebasan. Kemudian dengan leluasa para kafir pengecut itu menghembuskan strategi picik mereka, menyalahkan Islam sebagai dalang pemikiran radikal yang menanamkan ajaran kebencian kepada para penganutnya! Sekali lagi sang anak pun berdiri lemas di pojok rumah dengan tatapan malu –meski sebetulnya tidak ada alasan baginya untuk malu- dan terpaksa menerima semua tuduhan itu. Tak berdaya. Meski sang anak tak tahu apa sebabnya dia berada dalam kondisi tersebut, dia hanya merasa malu. Malu karena dia merasa sebagai orang asing di rumah tersebut, malu mengakui dirinya tidak bersalah, dan malu.
Kenyataan pahit sang anak memang saya sandingkan pada kenyataan muslim saat ini. Kemudian tidakkah mereka sadari, bahwa mereka sedang berada dalam kondisi yang demikian.
Parahnya kini kita jumpai orang-orang yang hidup bahagia dengan menjadi penjilat dan pengkhianat. Mereka adalah orang-orang yang dengan suka rela menjadi kaki tangan musuh umat. Mereka rela “mendakwahkan” ajaran yang bukan berasal dari islam –bahkan bertentangan dengan islam- dan mencarikan dalil yang seolah pas, sehingga mereka dengan leluasa merombak (deradikalisasi) ajaran islam dengan tenang. Dengan segala kekurangannya mereka mengatakan, bahwa jihad hanya berlaku untuk deffensive atau bertahan saja. Mereka menafikan bahwa Islam pun mengenal jihad offensive yang berfungsi mengatasi rintangan dakwah ketika diperlukan[1]. Atau mereka mengatakan bahwa islam itu rahmatan lil ‘alamiin sehingga mereka membenarkan serta “mendakwahkan” pluralisme[2]. Lagi-lagi dengan segala kekurangannya, mereka melupakan firman Allah dalam al Quran yang berbunyi:
Parahnya kini kita jumpai orang-orang yang hidup bahagia dengan menjadi penjilat dan pengkhianat. Mereka adalah orang-orang yang dengan suka rela menjadi kaki tangan musuh umat. Mereka rela “mendakwahkan” ajaran yang bukan berasal dari islam –bahkan bertentangan dengan islam- dan mencarikan dalil yang seolah pas, sehingga mereka dengan leluasa merombak (deradikalisasi) ajaran islam dengan tenang. Dengan segala kekurangannya mereka mengatakan, bahwa jihad hanya berlaku untuk deffensive atau bertahan saja. Mereka menafikan bahwa Islam pun mengenal jihad offensive yang berfungsi mengatasi rintangan dakwah ketika diperlukan[1]. Atau mereka mengatakan bahwa islam itu rahmatan lil ‘alamiin sehingga mereka membenarkan serta “mendakwahkan” pluralisme[2]. Lagi-lagi dengan segala kekurangannya, mereka melupakan firman Allah dalam al Quran yang berbunyi:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam...” [Ali Imran:19]
Mereka lupa makna serta fakta rahmatan lil ‘alamiin yang tak mungkin terwujud tanpa menerapkan syariah Islam. Padahal islam menolak mentah-mentah paham pluralisme ini. Mereka memanfaatkan ajaran islam yang mengakui pluralitas (keberagaman) sebagai celah memasukan kebusukan pluralisme (paham yang membenarkan semua agama) didalamnya. Hal yang sama terjadi pada seluruh apek ajaran islam yang senantiasa bertentangan dengan pemikiran-pemikiran sampah yang terlahir dari Kapitalisme Amerika.
Lalu para penjilat dan pengkhianat itu bermetamorfosis menjadi sosok yang diagung-agungkan oleh media massa, sehingga nama mereka terangkat dan banyak umat islam yang kemudian terjebak strategi mereka. Sehingga ada yang menamai diri mereka sebagai golongan ‘liberal’, namun ada juga yang tidak se ekstrem liberal mereka bangga menyebut diri mereka dengan istilah ‘moderat’. Bagi golongan ‘liberal’ ketika mereka dituduh bahwa islam mengajarkan kebencian, mereka bukan hanya tertunduk malu. Namun mereka malah ikut menuduh islam dengan tuduhan yang sama –tanpa pengetahuan-. Benar-benar masalah psikologi akut yang sering terjadi pada anak-anak. Dan tentu saja orang-orang kafir tidak akan menelantarkan mereka. Mereka langsung diangkat menjadi anak kesayangan yang bertugas menyalahkan islam dan mempropagandakan ajaran ‘suci’ mereka. Orang-orang kafir pun tertawa! Lain lagi dengan golongan ‘moderat’. Ketika menghadapi tuduhan arogan mereka terhadap islam, mereka bersiakp ridho, dan pasrah menerima tuduhan tersebut. Mereka menjadi anak yang tertunuk malu karena termakan tuduhan brutal itu, dan berpersepsi bahwa islam –paling tidak umatnya- memang seperti yang mereka tuduhkan. Mereka pun berusaha untuk tidak menyalahkan islam karena masih terdapat perasaan mendalam terhadap agamanya, dan mereka pun tidak menuntut apapun dari orang kafir karena menganggap tuduhan tersebut memang benar adanya. Orang-orang kafir pun tertawa, lagi!
Mereka belum puas menyaksikan perasaan rendah diri orang islam ‘liberal’ dan ‘moderat’ selama masih ada segelintir orang yang menolak tuduhan mereka, orang-orang yang penuh harga diri menepis segala tuduhan brutal mereka terhadap Islam. Orang-orang semacam inilah yang senantiasa mengangkat kepala mereka di hadapan orang kafir, dan hanya menundukan kepala mereka ketika mereka menghadap Rabb-nya. Merekalah ancaman sejati bagi orang-orang yang telah menebar tuduhan serta kebohongan terhadap diri umat. Merekalah yang akan menyingkirkan kegelapan di dunia ini dengan kemuliaan dan keagungan cahaya islam. Jika kalian ditanya, “siapakah gerangan mereka?” maka janganlah ragu untuk mengatakan, “Kami, generasi pilihan yang siap mengembalikan mata rantai sejarah peradaban islam yang agung, dan kami bukan teroris!”
[1] Artinya jihad diperlukan ketika dakwah islam dihalangi oleh penguasa setempat, maka ketika hal itu terjadi, Kholifah (pemimpin umat islam) akan menawarkan tiga hal untuk dipilih salah satu; masuk islam, tetap dalam keyakinannya (kekafiran) dengan catatan membayar jizyah sebagai bukti ketundukan mereka diatur oleh syariat dan harta-jiwa mereka dilindungi oleh islam, atau –jika dua penawaran sebelumnya ditolak- perang.
[2] Paham yang membenarkan semua agama, paham yang ngawur karena definisi ‘benar’ menjadi bias.
4 komentar:
Wah, jadi tambah semangat. Tetap semangat sob.
Kita yang akan mengembalikan Kejayaan Islam. Insya Allah.
benarkah?
alhamdulillah kalau tulisan saya menjadi inspirasi bagi sobat..
ditangan kita Kejayaan Islam kembali tegak, insya Allah.. tetap semangat!
Tidak perlu rendah diri di hadapan orang "kafir" tetapi kalaupun mau membantah mereka gunakanlah bukti2 dan argumen yang kuat. Bisakah anda melakukannya?? Atau anda hanya bisa mengumbar ancaman dan kebencian?? Kalau ternyata anda tidak bisa membantahnya jangan salahkan kalau banyak umat Islam minder terhadap Islam dan memilih untuk murtad...
maaf mas, memangnya di dalam tulisan ersebut saya mengumbar kebencian ya? kalo boleh tahu tolong tunjukankalimat yang mana?
dan untuk statement "tetapi kalaupun mau membantah mereka gunakanlah bukti2 dan argumen yang kuat. Bisakah anda melakukannya??" jawaban saya adalah mungkin harus anda nilai sendiri.
cukuplah saya menyimpan apa yang menjadi kebaikan bagi diri sendiri.
Posting Komentar
be nice, keep it clean my friend