Ketika awal masuk kuliah saya bertanya kepada Allah, mengapa saya tidak berada di dalam kelas yang sama dengan si Fulan. Berbagai pertanyaan senada pun saya lontarkan, dan yang terjadi hanyalah pesimisme yang berujung keputusasaan. Sering kali terfikir, dakwah akan menjadi lebih mudah ketika berhadapan dengan orang yang telah memeliki informasi sebelumnya dibandingkan menghadapi orang awam, terlebih lagi orang awam yang hedonis. Tak jarang terfikir, “Ah, tak mungkin orang seperti dia belajar Islam. Lihat saja penampilannya, uring-uringan seperti berandalan! Mengurus dirinya sendiri saja pasti tidak mampu”.
Baik disadari maupun tidak, pada akhirnya kita sering meremehkan orang lain dari penampakan luarnya saja. Kita terbiasa menilai orang dari pengekspresian orang tersebut terhadap sesuatu. Tidak percaya?
Kalau begitu cobalah tengok pemuda yang mungkin secara kasat mata, mereka hidup bagaikan burung. Mereka pergi ke mana pun mereka suka. Pegunungan, lautan, bahkan hanya berkeliling kota dengan pakaian nyentrik, dengan gaya rambut yang menyalahi kodrat, kemudian mereka tidur di sepanjang trotoar demi menanti konser musik gratis yang biasa dilakukan dari kota ke kota.
Bagaimana anda menilai mereka?
Jawaban kebanyakan orang pasti akan singkat, padat, jelas, dan senada: “MADESU”.
Namun tahukah anda bahwa dibalik penampilan nyentrik mereka, yakinlah bahwa mereka pun merasakan kekosongan yang tak akan pernah sanggup mereka sulam dengan kesenangan. Yakinlah ada hal yang membuat mereka menderita karena tidak mampu menemukan kebahagiaan dalam kehidupannya. Kalaupun ada, kebahagian yang mereka rasakan bukanlah kebahagiaan yang menghadirkan ketenangan dalam diri mereka. Akhirnya banyak dari mereka yang melampaui batas untuk mendapatan kebahagian yang mampu menentramkan batin mereka, serta memuaskan akal mereka. Lantas apakah mereka mendapatkannya? TIDAK. Tidak sedikit dari mereka yang terjebak dalam halusinasi ‘daun berjari’, dan hubungan yang tidak halal untuk mencari secercah kebahagiaan yang mampu menentramkan hati mereka. Namun yang terjadi mereka justru tidak mampu menambal kekosongan ‘ruhiyah’ yang sejatinya telah lama mereka cari.
Yang harus kita sadari bagaimanapun kepribadian (syakhsiyah) seseorang, Allah telah menanamkan sebuah naluri kepadanya. Naluri tersebut kemudian mendorong manusia untuk mencari kebahagiaan. Itulah naluri beragama, yaitu naluri meng-Esa kan sesuatu. Karena sebagai muslim kita meyakini bahwa kebahagian yang sesungguhnya tidak datang dari materi bukan? Kita sangat meyakini bahwa kebahagiaan akan kita temukan dalam keridhoan Allah, bukan yang lain. Fitrah yang Allah berikan tersebut mendorong manusia untuk mencari keberadaan penciptanya dan mengimaninya. Hal ini dapat kita lihat dalam al Qur’an, yang menceritakan tentang Nabiyullah Ibrahim (as) ketika beliau hendak mencari penciptanya. Keimanan yang dimilikinya pun bukan keimanan kelas ‘teri’ yang tunduk terhadap dogma buta para pendahulunya, melainkan keimanan yang mantap, sehingga kepatuhannya terhadap Allah merupakan hal yang utama. Dari sana lah beliau menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Meski berkali-kali menghadapi ujian yang berat, namun keimanannya tak pernah gamang. Sebagai reward atas keta’atan beliau, Allah telah memberikan kemuliaan kepadanya.
Sekarang kita kembali pada masalah umat islam saat ini. Sekalipun mereka muslim tapi kebanyakan tidak memahami apa yang harus dilakukannya setelah beranjak dewasa (baligh). Allah memang memberikan akal yang sama baik kepada para Rasul, Sahabat, Ulama, maupun kepada umat Islam saat ini. Namun memang kita sadari bahwa Qada[1] Allah atas manusia berbeda-beda. Ada yang cerdas seperti nabi Ibrahim (as), jenius seperti Imam Syafi’I, atau biasa-biasa seperti kita. Karena itulah Allah menrunkan Islam sebagai jalan kehidupan bagi seluruh umat manusia. Allah menurunkan sebuah Mabda[2] yang darinya terpancar seluruh aturan kehidupan. Dengan Mabda tersebut Allah mengangkat derajat manusia[3], dengan Mabda itu pula Allah menjadikan umat Islam sebagai umat terbaik.
Masalahnya adalah, umat ini telah dijauhkan dari Mabda-nya sendiri. Mereka telah dikondisikan sedemikian rupa, sehingga secara praktis, kehidupan mereka terpisah dari Mabda-nya yakni terpisah Islam. Kehidupan umat kini telah kehilangan ciri khas mereka, dan bertransformasi menjadi masyarakat Sekuler[4]. Tidakkah cukup generasi yang tengah lahir dalam ‘kubangan lumpur’ seperti kita menyaksikan kerusakan yang telah menjalar ke setiap sel dan jaringan di dalam tubuh raksasa yang terlelap ini? Lantas, banyak saya temui orang-orang yang berputus asa atas keadaan ini karena saking parahnya penyakit yang telah lama ter-inkubasi[5]. Adapun orang-orang yang mereka menyadari derita umat hari ini, namun mereka terpisah dari umat itu sendiri, mereka lari mengasingkan diri, mereka berdo’a kepada Rabb-nya ,memenuhi setiap malam mereka dengan air mata dan begitu seterusnya. Tidakkah orang-orang ini memahami sabda Rasulullah SAW:
“Sungguh kalian akan terus menyeru kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Atau (jika tidak) maka Allah akan menjadikan orang-orang yang paling buruk diantara kalian menguasai dan memimpin kalian, sehingga ketika itu orang-orang yang paling baik diantara kalian berdoa tetapi doanya tidak dikabulkan.” (HR. Al-Bazzar dan Ath-Thabrani).
Dan dalam riwayat lain:
“Atau (jika tidak) maka hampir-hampir Allah pasti akan menurunkan adzab-Nya, kemudian kalian berdoa kepada Allah tetapi Allah tidak mengabulkannya.” (HR. At-Tirmidzi)
Beruntung bagi orang yang telah menyadari penyakit dalam tubuh umat. Namun bagaimana dengan mereka yang yang tengah sakit namun belum menyadari akan hal itu? Lebih jauh lagi, bagaimana dengan orang yang tengah berperan aktif dalam penyebaran penyakit itu? Bagaimana dengan ‘dokter’ yang salah menganalisis penyakit umat ini, sehingga malah menambah rumit persoalan? Bagaimana… dan bagaimana?!
Karena itulah, diperlukan orang-orang luar biasa yang mampu mengemban mabda Islam (fiqrah dan thariqah-nya) serta menginternalisasikannya dan melakukan perubahan di tengah masyarakat. Dialah sel awal yang mampu menetralisir penyakit yang telah tersebar dalam tubuh umat. Dialah yang juga menghadapi kerasnya rintangan dakwah di tengah-tegah umat. Namun karena mabda yang diembannya maka orang-orang akan tersadar untuk mengikutinya dan berjuang bersamanya. Bahkan kesembuhan akan menyebar kedalam setiap sel yang sakit –nyaris mati- dan memberikannya ruh baru sehingga secara alami mereka mampu menyulam setiap kekosongan ‘ruhiyah’ yang mereka rasakan selama ini. Karena itulah, istiqomahlah! Tegarlah! Teruslah nasihati mereka, yakinlah karena hidayah adalah pilihan.
Fight for Revolution!
0 komentar:
Posting Komentar
be nice, keep it clean my friend