I |
slam adalah diin yang syamilan dan kamilan. Tak ada satu pun masalah yang tidak dapat diselesaikan dengan Islam. Sejarah membuktikan bagaimana Islam pernah diterapkan secara kaffah dalam Daulah Islamiyyah sejak masa Rasulullah, khalifah setelahnya hingga khalifah terakhir. Umat Islam tidak pernah menerapkan satu hukum pun selain hukum Islam, kecuali pada masa-masa kemunduran Islam hingga runtuhnya institusi Khilafah Islamiyah di Turki Utsmaniyah. Penerapan hukum Islam telah terbukti membawa umat Islam pada peradaban yang tinggi selama lebih dari 13 abad.
Saat ini umat sudah jauh dari hukum Islam, akibatnya kehidupan menjadi kacau. Sesungguhnya penyebab kemerosotan yang dialami umat ini adalah akibat sangat lemahnya kaum muslimin dalam memahami dan melaksanakan Islam. Satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kehidupan adalah dengan memahamkan umat tentang hukum (syariat) tersebut dan menerapkannya dalam seluruh aspek kehidupan.
Untuk memperdalam pemahaman mengenai hukum Islam, pada bab ini kita akan membahasnya.
Hukum Perbuatan Manusia
Setiap perbuatan manusia terikat dengan hukum syara’. Sebuah kaidah syara’ menyatakan: "Hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum syara" [1]
Sedangkan hukum syara’ adalah "khithabusy Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) yang berkaitan dengan amal perbuatan hamba” [2]
Dengan demikian tolak ukur perbuatan bagi seorang muslim haruslah berupa perintah dan larangan Allah SWT. Oleh karena itu pengetahuan tentang hukum syara wajib dipahami oleh setiap muslim agar dapat diketahui status hukum perbuatan yang hendak dilakukannya apakah haram, makruh, mubah, mandhub, atau fardhu. Sebab setiap perbuatan yang akan dilakukan seorang muslim harus diketahui dulu hukumnya, karena Allah akan meminta pertanggungjawaban atas setiap perbuatannya.
Allah SWT berfirman :
﴿فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ% عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾
"Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu." (TQS. al-Hijr: 92-93).
﴿وَمَا تَكُونُ فِي شَأْنٍ وَمَا تَتْلُو مِنْهُ مِنْ قُرْءَانٍ وَلاَ تَعْمَلُونَ مِنْ عَمَلٍ إِلاَّ كُنَّا عَلَيْكُمْ شُهُودًا إِذْ تُفِيضُونَ فِيهِ﴾
"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya." (TQS. Yunus: 61).
Yang dimaksud dengan “menjadi saksi” dalam ayat tersebut, berupa pemberitahuan dari Allah kepada hamba-Nya bahwa Dia menyaksikan perbuatan mereka dan akan menghisabnya.
Para sahabat selalu bertanya terlebih dahulu kepada Rasulullah Saw ketika menghadapi masalah untuk mendapatkan penjelasan hukumnya, mereka tidak pernah melakukan perbuatan kecuali setelah mendapatkan penjelasannya dari Rosulullah. Contohnya adalah hadits dari Ibnu Mubarak tentang Usman bin Madh'un yang menanyakan hukum ikhtisha' (pengebirian).
“Apakah aku diizinkan melakukan ikhtisha’ (pengebirian)?, jawab Rasul:”Bukan tergolong umatku yang melakukan pengebirian, baik terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain, dan sesungguhnya pengendalian syahwat bagi umatku adalah shaum.”……..(Al Hadits)
Apabila persetujuan Rasullullah Saw tentang suatu masalah berbentuk taqrir beliau untuk masalah itu, harus dipastikan bahwa Rasulullah Saw mengetahui perbuatan tersebut baik perbuatan tersebut dilakukan di hadapan beliau atau telah sampai beritanya kepada beliau. Contohnya dalam kasus azl (senggama terputus dengan menumpahkan air mani di luar tempatnya). Dalil-dalil tersebut menunjukkan keterikatan semua perbuatan dengan hukum syara'. Maka dari itu tidak ada satupun perbuatan yang terlepas dari hukum syara'.
0 komentar:
Posting Komentar
be nice, keep it clean my friend