Ini dia ramadhan. Selalu menjadi tamu agung bagi umat islam sedunia rupanya. Sekarang pun begitu, puncak keshalehan umat Islam se-Dunia. Di kampung-kampung sunyinya malam kini dihentak lantunan tilawah al-Qur’an. Masjid pun penuh sesak. Sedang anak-anak berkeliaran bermain petasan. Ah… tak ada yang melarang karena ini ramadhan. Bagi kami ramadhan adalah perayaan tahunan, untuk menyambut hari yang fitri. Tak pelak bukan, jika kami bersuka cita menyambut ramadhan?
Inilah kami. Remaja masa kini, selalu sibuk meluapkan ekspresi diri. Meski takut melangkah kesana kemari tak mungkin kami berdiam diri. Dalam ramadhan pun kami tak peduli, selama itu yang kami mau pasti ‘kan kami penuhi. Bagi kami ekspresi diri tak mengenal batasan apalah arti ramadhan. Pakaian seperti apa yang kukenakan bukan urusan kalian. Ekspresi bebas tiada batas yang kami inginkan. Bukan otokrasi teologi yang kami inginkan!
Kenangan Setiap Ramadhan
Dulu Ramadhan pasti identik dengan penyambutan luar biasa oleh umat islam se-Dunia. Umat Islam saling senggol untuk mendapatkan shaf terdepan, tak ‘kan pernah kita jumpai aurat bergentayangan. Tak heran jika anak-anak muda yang aktif mengisi serentetan acara di bulan ramadhan.
Untaian kalimat, seorang ustadz muda masih bergetar di membran timpani sampai sekarang “…pada bulan ini pintu neraka ditutup, pintu syurga dibuka seluas-luasnya dan para syetan dibelenggu…”. Tak ‘kan pernah sirna dari ingatan… ramadhan memang masa yang menyenangkan.
Waktu ngabuburit saya isi dengan bermain monopoli bersama saudara. Aha! Rindu rasanya. Sekalipun melelahkan tapi sungguh asyik. Apalagi jika mendengarkan dan mebayangkan gagahnya para Sahabat ketika perang Badar. Semua kilatan pedang itu meninggalkan kesan “Wah!!” di setiap Ramadhan.
Namun bukan hidup jika tidak diametrial. Dan hal itu baru saya sadari sekarang, ketika ramadhan tak lagi saya habiskan di masjid-masjid. Namun saya habiskan di sebuah warung internet yang menjadi tempat saya mengumpulkan recehan.
Rasanya ramadhan ini saya malah semakin banyak melihat aurat orang. Padahal yang saya lakukan hanya menatap layar seharian. Jawaban pernyataan itu adalah pelanggan. Di bulan ini saya malah merasa (semoga ini memang hanya perasaan saya saja) semakin banyak orang yang ‘telanjang’. Dan mereka yang ‘telanjang’ itu dengan tanpa rasa malu melenggang keluar-masuk tempat umum, seperti tempat saya menimba recehan. Masya Allah!!
Kepala ini pun hanya sanggup melototi monitor, sedangkan batin menderita karena diperkosa hawa nafsu. Oh… Ya Allah, terimalah shaum hambamu yang dhaif ini.
Hati ini sekali lagi menjadi arena pertarungan antara ketakwaan dan nafsu yang sama-sama totalitas. “Dasar sampah visual keparat! Kemanakah rasa malu mu?!” menjadi tak berkutik di hadapan apa yang sedang saya lihat. Meski ingin rasanya saya menyembur-nya, “Ini Ramadhan!! Tak bisakah kau menutup auratmu untuk satu bulan ini saja?”. Namun saya menyadari betul jika hal itu bukan lah solusi totalitas untuk memasung habbit mereka dalam memakai pakaian adik-nya.
Di tengah kegilaan zaman ini, yang saya harapkan hanyalah keinginan merasakan hidup dibawah aturan Islam. Dalam bingkai Khilafah Islam. Satu-satunya tempat yang menjadi dambaan setiap muslim di dalam kehidupan dunia. Yaitu satu-satunya tempat waras untuk mengumpulkan setiap ongkos recehan ke Jannah-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar
be nice, keep it clean my friend