Politik adalah
pengaturan urusan umat baik dalamnegeri maupun luar negeri. Mengenai
dalam Negeri, aktivitas Poltik yang utamadilakukan secara praktis oleh
Negara dengan menerapkan Mabda (Ideologi) yang dianutnya.[1]
Hari ini, terdapat sebuah Ideologi yang eksis,dan menjadi asas bagi pengaturan yang dilakukan oleh banyak Negara di belahan dunia, yakni Ideologi Kapitalisme. Aqidah yang mendasari tegaknya Ideologi tersebut adalah Sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Dalam Sekularisme, Agama dianggap belenggu yang akan mengerangkeng manusia dalam upayanya mewujudkan kebahagiaan, sehingga tak boleh dijadikan pijakan dalam menjalani kehidupan kecuali hanya terbatas dalam tataran privat.
Adapun Negara, sebagai
institusi Politik, menurut Aqidah Sekularisme, idealnya ditegakkan dengan tujuan
untuk menjaga dan menjamin rakyat dalam memperoleh jaminan atas berbagai
kebebasan yang menjadi haknya. Kebebasan tersebut antara lain: kebebasan
beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan pribadi (bertingkah laku) dan
kebebasan kepemilikan.[2]
Namun pada praktiknya,
kebebasan yang dijanjikan pada seluruh penghuni Negara mengalami proses
penyempitan. Hak mendapatkan kebebasan itu akhirnya justru dimonopoli oleh
segelintir orang yang bernama Kapitalis (Pemilik Modal). Dengan kekuatan
modalnya, Para Kapitalis dapat menjadikan Negara sebagai pijakan untuk
memuluskan apa yang diinginkannya seraya menafikan kebebasan warga lain.
Negara yang menganut
Ideologi Kapitalisme, pada akhirnya memaksa Para Poilitisi yang terlibat
aktivitas Politik hanya mewakili kepentingan Para Kapitalis yang hanya
segelintir saja. Ini pula yang kemudian menjadi alasan mengapa Ideologi ini tak
dinamakan Sekularisme, akan tetapi Kapitalisme.
Pendidikan dalam Kuasa
Ideologi Kapitalisme
“Jika anda bertanya
apa manfaat Pendidikan, maka jawabannya sederhana: Pendidikan membuat orang
menjadi baikdan orang baik tentu berprilaku mulia” (Plato, Filsuf Yunani Kuno)
Rasanya tak ada yang
menyangkal pernyataan Plato tersebut, bahwa memang tujuan dari diadakannya
aktivitas Pendidikan tak lain untuk mewujudkan manusia yang sebenarnya, yang
memiliki kepribadian baik dan mulia.
Namun sayang, ada satu
kelemahan mendasar para Filosof seperti Plato. Yakni seringkali memberikan konsep
yang sangat ideal, namun terlalu general. Sehingga memunculkan
potensi bias tafsir. Demikian halnya dengan Plato, ia dan apa yang
diungkapkannya telah meninggalkan jejak kebingungan ditengah umat manusia yang
mencari cari tafsir pasti dari frasa ‘orang baik’ dan ‘berprilaku mulia’.
Hanya satu hal yang
pasti, tafsir tersebut pada akhirnya akan sangat bergantung pada Ideologi yang
dijadikan pijakan bagi Negara dalam mengelola Pendidikan bagi manusia yang
tinggal dalam naungannya. Manusia-manusia dapat dipaksa untuk menerima konsep
orang baik dan berprilaku mulia yang diinginkan Negara tempatnya hidup. Hal ini
juga ditegaskan oleh Michael Folcault,yang menyatakan bahwa keberadaan
Pendidikan tak bisa dilepaskan dari kepentingan penguasa. Terdapat hubungan antara pendidikan dan kekuasaan.[3]
Kapitalisme, sebagai
sebuah Ideologi yang kini menjadi asas bagi aktivitas Politik Negara di Dunia,
termasuk Indonesia, tentu punya pola tersendiri dalam memanfaatkan pendidikan
sebagai medium untuk memuluskan tujuan Ideologisnya.
Lantas bagaimana cara
Kapitalisme membangun sistemPendidikannya di Indonesia? Apakah Kapitalisme
berhasil mengarahkan manusia-manusia Indonesia menjadi orang baik dan berprilaku
mulia? Hasil apa saja yang didapatkan oleh Negeri ini karena pilihannya tunduk
pada Ideologi Kapitalisme? Adakah Negeri ini mendapatkan kebaikan? Atau
sebaliknya?
Untuk menjawab
beberapa pertanyaan tersebut, kiranya bisa diklihat dari tiga aktivitas politik besar
yang menjadi manifestasi Politik Pendidikan Kapitalisme di Indonesia. diantaranya:
1.
Membangun Pendidikan Sekuler
Sebagaimana sudah
diuraikan sebelumnya, Aqidah yang dianut oleh Ideologi Kapitalisme adalah
Sekularisme (PemisahanAgama dari kehidupan).
Meminjam pernyataan
Adian Husaini, Sekularisme adalah bentuk lain dari konsep ‘Menuhankan manusia,
dan memanusiakan Tuhan’. Manusia sebagai makhluk yang lemah, diposisikan
seperti Tuhan yang memiliki hak untuk mengatur urusan kehidupan secara
komprehensif. Sebaliknya, Tuhan yang hakikatnya Dzat sempurna, ditiadakan
perannya, disingkirkan, seolah lemah dan tak punya daya untuk berkuasa dan
mengatur manusia.
Sekularisme mengerdilkan
peran Agama hingga ajarannya hanya boleh diamalkan dalam tataran individual
belaka; dalam aspek ritual atau keyakinan pribadi saja. Adapun dalam aspek lain,
semisal berekonomi, berpolitik, bersosial, maka Agama diharamkan untuk turut
campur mengatur urusan manusia.
Pola Pendidikan
Sekularisme di Indonesia sendiri nampak dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab
VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan bagian kesatu (umum)
pasal 15. Dimana terdapat dikotomi antara Pendidikan Agama dengan Pendidikan
lainnya, yang berbunyi: “Jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan,
akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus”[4]
Dalam tataran yang
lebih praktis, Sekularisme tercermin dari indikator dan materi yang disiapkan
dalam proses pembelajaran Agama yang dibuat Pemerintah, dimana arahnya hanya
terbatas agar pelajar memahami agama sebagai simbol dan ritual belaka. Bukan
sebagai standar berfikir dan bersikap dalam mengarungi medan kehidupan yang
luas. Tak hanya itu, alokasi waktu mata pelajaran Agama-pun sangat sedikit,
hanya berkisar dua jam pelajaran per minggu.
Padahal, menurut
Taqiyuddin An-Nabhani, Penanaman Ideologi Sekularisme dalam kehidupan, atau
menjauhkan manusia dari aturan agama, adalah sebuah wujud penentangan manusia
terhadap fitrahnya. Hal demikian akan menjadi sumbu bagi munculnya beragam
pertentangan dan perbedaan yang mengacaukan kehidupan manusia. Itu karena
hakikatnya manusia tak akan pernah mampu mengatur hidupnya sendiri.[5]
Dalam konteks lain,
Ketika Sekularisme menafikan Agama sebagai standar dalam berfikir dan bersikap,
maka hakikatnya, Sekularisme sedang mengajarkan kebebasan bagi manusia untuk
menentukan standar (maqayis) sendiri, tentang benar-salah, baik-buruk serta
terpuji-tercela. Dengan katalain, Sekularisme telah memberikan jalan bagi
lahirnya Relativisme.
Akibatnya, manusia
yang dididik dengan Ideologi ini sangat potensial menjadi manusia brutal dan
yang sulit diatur. Maka jangan heran bila penggunaan Narkoba, Aborsi, Seks
Bebas, Tawuran atau geng motor menjadi potret buram yang dihasilkan oleh manusia
yang terdidik dengan Ideologi ini. Media massa, cetak maupun elektronik tak
henti memberikan fakta tentang dampak dari hal ini.
Terkait hal tersebut,
Alija Izetbegovic, mantanPresiden Bosnia menguatkan tentang bahaya melepaskan Agama
dari kehidupan manusia. Menurutnya, Moralitas sebagai sebuah prinsip tak mungkin
dapat terwujud kecuali dengan agama. Dengan kata lain, membangun moralitas
dalam ruang hidup sekularisme adalah sebuah utopia belaka.[6]
Memang benar, disisi
lain, Pendidikan dengan pola sekualrisme telah menghasilkan percepatan munculnya
beragam produk IPTEK yang sangat canggih, Namun dunia tak bisa menutup mata,
bahwa IPTEK yang digunakan oleh penganut Sekulerisme, lebih banyak menimbulkan
mafsadat ketimbang maslahat. Begitu juga kepintaran yang dimiliki sebagian
penganutnya, alih alih membawa kebaikan, mereka justru membawa kerusakan.
2. Menciptakan Liberalisasi Pendidikan
Dalam UUD 1945 pasal
31 ayat 1 berbunyi,”Setiapwarga Negara berhak mendapat pendidikan”.[7] Tak ada yang keliru
dari isi UUD tersebut, namun sayang, UUD 1945 hanyalah sekumpulan konsep yang
tak memiliki seperangkat metode yang khas sebagai tuntunan untuk mewujudkannya
secara praktis. Akibatnya, ia menjadi konsep bias yang metode pelaksanaannya
dapat dipelintir oleh Ideologi tertentu yang menjadi ‘ruh’ Negara. Dan dalam
konteks hari ini, Kapitalisme adalah Ideologi yang dimaksud.
Adapun dalam
menerapkan Ideologinya, Kapitalisme hanya menjadikan Negara sebagai sarana untuk
menjamin terciptanya kebebasan ditengah kehidupan manusia yang tinggal
di dalamnya. Satu diantara kebebasan tersebut adalah kebebasan kepemilikan.
Konsep kebebasan
kepemilikan, salah satu manifestasinya adalah Liberalisasi, yang terwujud dalam
bentuk pelemparan beragam tanggung jawab Negara kepada pasar . Negara melakukan
aktivitas Liberalisasi dalam berbagai aspek, termasuk diantaranya Pendidikan.
Dalam konteksPendidikan, Negara terus berupaya melepaskan kewajibannya untuk
menanggung biaya Pendidikan yang dibutuhkan rakyatnya.
Maka bila ada yang
menafsirkan maksud dari UUD 1945 pasal 31 ayat 1 adalah semua aktivitas
Pendidikan setiap rakyat dijamin tanpa perlu membayar biaya sepeser pun, maka
tafsirannya keliru besar. Karena jelas, hal tersebut bertolak belakang dengan
visi Liberalisasi yang menjadi manifestasi Ideologi Kapitalisme.
Liberalisasi di Negeri
ini, tercermin nyata pasca reformasi berlangsung. Pemerintah melakukan proses
Desentralisasi atau Otonomi Pendidikan yang membuat tanggung jawabnya dalam
mengelola Pendidikan semakin sedikit. Pemerintah malah melepaskan beragam
tanggung jawabnya dalam menetapkan berbagai hal yang menyangkut jalannya
Pendidikan kepada tiap satuan Pendidikan di masing masing daerah, termasuk dalam
mencari dananya sendiri. [8]
Dengan demikian,
Pendidikan akhirnya berperan juga sebagai Pasar. Para Kapitalis bermain di Dunia
Pendidikan mencari proyek sana sini, melakukan persaingan dalam rangka mengeruk
keuntungan dari Liberalisasi yang telah memuluskan simbiosis antara Kapitalis
dan Satuan Pendidikan. Ekses paling terasa dari hal ini, Lembaga Pendidikan
mematok biaya mahal bagi setiap rakyat yang ingin sekolah. Karena mereka
membutuhkan uang rakyat sebagai alat transaksi dengan Para Kapitalis.
Kondisi menjadi sangat
pelik, ketika fakta menunjukan, masih banyak rakyat Indonesia yang hidup miskin.
Merujuk standar kemiskinan Bank Dunia, jumlah penduduk miskin di Indonesia pada
2013 mencapai 97,9 juta jiwa. Atau setara dengan 40 persen penduduk.[9]
Akhirnya banyak
diantara Mereka yang miskin urung melanjutkan sekolah, sambil menggerutu “Ternyata
Sekolah hanya untuk orang kaya”. Merujuk pada Data BKKBN, Pada Tahun
2009 saja terdapat 13.685.324 anak usia antara 7-15 Tahun yang putus
Sekolah[10]. Kondisi tersebut kemudian mengiringi semakin banyaknya
jumlah anak jalanan dan gelandangan, serta perbudakan anak, kebodohan, dan
banyak lagi.
Untuk menambal dampak
Liberalisasi yang buruk tersebut, Pemerintah menunjukan bentuk tanggung jawab
lain yang dinamakan Subsidi. Setiap tahun, Pemerintah memberikan subsidi
besarannya dialokasikan 20% dari jumlah APBN[11]. Jumlah tersebut direcah dalam program Beasiswa, BOS dan Gratis
Belajar SembilanTahun, dan yang lainnya.
Namun itu semua tentu
kurang dan tak mampu menyentuh semua lapisan rakyat. Subsidi seolah hanya menjadi
upaya setengah hati yang mengaburkan fakta Liberalisasi yang dilakukan
PemerintahNegeri ini.
3. Membangun Pendidikan Berbasis Industri
Dalam Negara yang
menjadikan Kapitalisme sebagai pijakkannya, adalah hal yang niscaya bila setiap
kebijakan senantiasa mengacu kepada kepentingan Para Kapitalis. Dan
diantara kebutuhan Para Kapitalis dalam melebarkan kekuatan modalnya, adalah
Sumber Daya Manusia.
Dalam
konteks tersebut, Pendidikan, sebagai sarana pembentukan corak SDM, adalah
ruang strategis untuk dimanfaatkan keberadaannya. Setidaknya, bila berpijak dari
asas manfaat yang menjadi standar berfikir Para Kapitalis, ada dua hal strategis
yang bisa dimanfaatkannya dalam Dunia Pendidikan Indonesia. Pertama; Menciptakan
SDM dengan kualitas keahlian yang sesuai dengan kebutuhan industri. Dua: SDM
yang siap ‘bekerjasama’ dalam menekan biaya produksi .
Sebagai salah satu
wujud praktisnya, akhirnya para Kapitalis mendorong Negara untuk memprioritaskan
mendorong perbanyakan jumlah Sekolah Kejuruan. Sekolah model ini secara
khusus dibangun untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh Para Kapitalis atau
bahasa halusnya ‘Dunia Kerja’. Lulusan SMK dipuja sebagai penguat iklim
investasi yang memajukan ekonomi Negara.
Pada Tahun
2009, Pemerintah melalui mendiknasnya, Bambang Sudibyo pernah menargetkan bahwa
padaTahun 2014, rasio antara jumlah SMK dan SMA mesti 2:1. Artinya di tiap
daerah,bila terdapat 1 SMA, maka harus terdapat 2 SMK[12]. Bila merujuk pada fakta hari ini, kiranya target tersebut
berhasil.
Dalam tataran indvidu,
sesungguhnya memang tak ada salahnya individu memiliki skill kerja yang mumpuni,
demikian juga memiliki kesiapan mendapatkan upah murah. Karena dalam
Islam pun, memiliki keahlian tertentu adalah Fardhu kifayah, bahkan dalam kondisi
tertentu dapat berubah menjadi Fardhu ‘ain. Selain itu, Miskin dan Kaya
dipandang sama saja, yang membedakan adalah taraf ketakwaan
Namun masalah muncul
bila hal tersebut dipandang dalam skala makro. Politik Pendidikan
yang memprioritaskan pembangunan Sekolah Kejuruan, tentu pada akhirnya akan
membuat SDM Negeri ini mayoritasnya adalah pribadi yang hanya siap jadi pekerja
yang mengabdi pada Para Kapitalis. Padahal disisi lain, mekanisme Pasar bebas
yang dijalankan oleh Negara Kapitalis meniscayakan proses makan-memakan
antar perusahaan yang berujung pada pengurangan jumlah pabrik yang
simultan. [13]
Pada akhirnya, jumlah
perusahaan milik Para Kapitalis yang semakin sedikit itu tentu membuat
lulusan siap kerja yang menggunung tak tertampung. Lantas, bagaimana nasib
mereka? Sebagiannya mungkin melanjutkan untuk kuliah, sebagian lagi bekerja
lintas keahlian. Dan sambil menjalani kehidupan barunya, sebuah pertanyaan
terngiang ngiang dalam kepala mereka, “Lantas apa gunanya keahlian yang
aku pelajari selama tiga tahun itu, bila akhirnya aku menjadi seperti hari ini?”
Namun yang lebih banyak
lagi, lulusan yang tak tertampung itu menjadi Pengangguran. Kalaupun tak jadi
pengangguran, lulusan SMK dapat menyisihkan lulusan SMA, dan melabeli
mereka dengan cap pengangguran. Faktanya, jumlah pengangguran memang tinggi.
Menurut Muhaimin Iskandar, PadaTahun 2012 saja, terdapat sekitar 7 juta pengangguran di Indonesia[14].Pengangguran ini tentu potensial untuk beranak-pinak melahirkan
beragam masalah lainnya. Seperti pencurian, perampokan dan tindak kriminalitas
lainnya.
Ikhtisar
Demikianlah Ideologi
Kapitalisme dengan visi Politiknya telah terbukti gagal dalam menyuguhkan
harmonisasi dalam dunia Pendidikan. Kapitalisme gagal membentuk rakyatnya
menjadi manusia paripurna yang pantas untuk dikatakan baik dan berpilaku mulia.
Sebaliknya Kapitalisme justru menghasilkan pribadi pribadi brutal yang kering
akan nuansa spiritual, moral, apalagi sosial.
Tak hanya itu,
untuk mendapatkan kualitas Pendidikan dengan kualitas yang buruk tersebut,
Rakyat masih dipaksa membayar dengan biaya yang mahal dan sulit dijangkau.
Ditambah lagi, biaya yang mahal tersebut tak memberikan kepastian yang cerah
bagi masa depan mereka yang membayarnya. Baik masa depannya di Dunia, maupun di
Akhirat.
Nyata sudah,
Politik Pendidikan ala Kapitalisme benar benar telah nyata menjadi api yang
mungepulkan asap masalah dan membuat sesak dada khalayak. Potret tersebut
semestinya sudah cukup menjadi salah satu alasan kuat bagi penduduk
Negeri ini untuk bergerak bersama penduduk di belahan Dunia, membawa satu visi;
Menumbangkan Ideologi Kapitalisme, serta mewujudkan Perubahan besar Dunia menuju
Khilafah. Wallohualam.[Farhan A.Muttaqi]**
[1] An,Nabhani, Taqiyuddin.(2006). Konsepsi Politik
HizbutTahrir (ter. Mafahim Siyasiyah). Jakarta: HTI Press. Hal: 7
[2] An-Nabhani, Taqiyuddin. (2001) Peraturan Hidup dalamIslam
(terj. Nizhamul Islam), Jakarta: HTI Press. Hal: 50
[3] Yamin, Moh. (2009). Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar
dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Jogjakarta: Arruz Media. Hal: 53
[5] An-Nabhani, Taqiyuddin. (2001). Peraturan Hidup dalam Islam
(Terj. Nizhamul Islam), Jakarta: HTI Press. Hal: 69
[6] Izetbegovic, Alija. (1992). Membangun Jalan
Tengah(Ter.Islam Between East and West)). Bandung: Mizan. Hal.153
[7] Yamin, Moh. (2009). Menggugat Pendidikan Indonesia; Belajar
dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara. Jogjakarta: Arruz Media. Hal: 122
[8] Ibid. 124
[9] http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/12/06/melmxl-orang-miskin-di-2013-tak-berkurang
[10] http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita/10/10/07/138569-32-persen-angka-putus-sekolah-nasional-ada-di-jawa-tengah
[11] Ibid.123
[13] Triono, Dwi Condro, 2012, Ekonomi Islam Mazhab Hamfara.
Yogyakarta: Irtikaz.Hal:196
[14]http://www.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/13/04/18/mlgk4g-meski-turun-angka-pengangguran-indonesia-masih-tinggi